Minggu, 23 Februari 2014

makalah tentang KEBUDAYAAN KEAGAMAAN MENGHADAPI GLOBALISASI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Globalisasi dewasa ini menampilkan suatu corak hubungan antar bangsa yang tidak seimbang. Hubungan antar negara-negara maju dan negara-negara berkembang masih ditandai oleh polarisasi kuat-lemah. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya “akulturasi asimetris” yaitu bahwa pengaruh negara-negara maju yang dominan dalam bidang ekonomi dan iptek atas dasar negara-negara berkembang juga memasuki bidang-bidang non- ekonomi, seperti politik dan budaya.
Akulturasi asimetris mendorong penetrasi budaya asing ke dalam wilayah budaya nasional suatu bangsa dan mengakibatkan terjadinya transformasi budaya yang timpang. Proses transformasi budaya ini acapkali menimbulkan “keterkejutan budaya” dikalangan bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya yang kuat. Sebagai akibatnya, bangsa tersebut mengalami keagamaan budaya dan terjebak ke dalam persepsi kehebatan budaya bangsa  lain.
Pada tingkat tertentu gejala keagamaan budaya menghadapi sebagaian masyarakat indonesia, seperti tampak pada responsi terhadap pengaruh budaya saing yang tidak kritis, rasional dan proporsional. Umpamanya lebih menekankan pengambilalihan budaya dalam arti terbatas (seni dan mode kehidupan) dari pada pengambilalihan iptek.

B.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui kebudayaan keagamaan menghadapi globalisasi


BAB II
PEMBAHASAN

A.       KEBUDAYAAN KEAGAMAAN MENGHADAPI GLOBALISASI
Sebagai proses mendunianya kehidupan umat manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dasyat, yang menciptakan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[1]
Sebagai akibat dari modernisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industri. Masyarakat modern mempunyai pandangan dunia yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia mempunyai pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler (humanisme sekuler) yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal- pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta-benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).
Masyarakat modern sering juga disebut sebagai manusia tekno-struktur sangat terikat dengan struktur-struktur kehidupan yang teknologis. Manusia, dalam hal ini, menjadi otomaton-otomaton kehidupan, yang percaya pada kemampuan diri namun sangat tergantung pada benda yang diciptakannya sendiri.
Dalam pada itu, tidak ada tempat dalam masyarakat industrial modern bagi sesuatu yang bersifat immateri atau rohani, karena apa yang disebut immateri dan rohani merupakan hasil dari sesuatu yang bersifat materi dan bendawi. Manusia dan masyarakat mengalami kegersangan dan bahkan kekosongan nilai spiritualitas. Sebagai akibatnya, manusia bersaing satu sama lain untuk merebut prestasi setinggi-tingginya dalam bidang materil, tanpa memperhatikan nilai etika dan moralitas.
Kita menyaksikan dewasa ini dampak negatif dari globalisasi, yaitu berkembangnya beberapa kencenderungan hidup, seperti kecenderungan materialistik (pendewaan terhadap materi), kecenderungan individualistik (pendewaan terhadap diri), dan kecenderungan hedonistik (pendewaan terhadap hasrat badani).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagaian masyarakat indonesia, terutama di kota-kota besar. Ketiga kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama.[2]
Pertama, karena perkembangannya kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan adanya penentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat dikalangan masyarakat luas, yang apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.

B.     STRATEGI KEBUDAYAAN
Untuk menghadapi fenomena diatas dibutuhkan adanya strategi kebudayaan, yakni kerangka praktis yang melibatkan unsur-unsur kebuyaan soaial, ekonomi, politik, iptek, seni dan agama untuk mewujudkan cita-cita sosial sesuatu masyarakat.
Jika cita-cita sosial tersebut diletakkan dalam konteks agama maka masyarakat ideal yang ingin diwujudkan dengan strategi kebudayaan adalah masyarakat agama atau masyarakat keagamaan. Karena tujuannya bersifat keagamaan karena pendekatan strategi kebudayaan yang akan diterapakan harus pula bersifat keagamaan, atau berdasarkan nilai-nilai agama.
Strategi kebudayaan perlu bertolak dari suatu teori nilai, meminjam istilah Sutan Takdir Alisyahbana, yaitu teori yang menentukan motivasi, tujuan, dan cara maupun logika manusia untuk mengembangkan dirinya dalam hidup berbudaya.
Menurut takdir, terdapat enam nilai strategis (berdasarkan agama) yang harus dikembangkan dalam pembangunan kebudayaan nasional indonesia. Keenam nilai tersebut ialah:[3]
1)                       Nilai agama,
2)                       Nilai ekonomi,
3)                       Nilai ilmu,
4)                       Nilai keindahan,
5)                       Nilai solidaritas,
6)                       Nilai kuasa atau politik.
Nilai agama merupakan nilai dasar yang berfungsi mendorong manusia atau masyarakat untuk memahami hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Penghayatan tentang hal ini akan memberikan makna bagi masyarakat dalam kehidupan kebudayaannya.
Nilai ekonomi merupakan nilai dasar kedua bi bawah nilai agama. Nilai ekonomi adalah nilai dasar. Bahkan menurut Sutan Takdir, berdasarkan dalam kebudayaan masyarakat, karena jika nilai ini tidak terpenuhi maka masyarakat tidak bisa hidup untuk membangun kebudayaannya. Nilai ekonomi akan membawa manusia untuk menciptakan kegunaan alam sekitar sesuai hukum dan norma alam itu sendiri.
Nilai ilmu berfungsi untuk menyelidiki dan mengetahui hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan itu sendiri. Pengetahuan akan hukum alam yang mengakibatkan penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa kemungkinan dan kemudahan bagi manusia untuk menjalankan kehidupan dan membangun kebudayaannya.
Sebagai nilai keempat adalah nilai keindahan. Nilai ini, bisa juga disebut nilai seni, berfungsi untuk mendatangkan bagi manusia kepuasan perasaan. Dalam hal ini, penghadapan manusia terhadap alam bukan hanya untuk memperoleh kemungkinan kegunaan (sebagai hasil dari ilmu pengetahuan) tapi juga sebagai sumber kepuasan batin tentang keindahan.
Nilai solidaritas juga penting, terutama dalam hubungan manusia dengan sesama manusia. Nilai ini untuk mempersatukan umat manusia (masyarakat) dalam membina kehidupan bersama dalam masyarakat. Pada hakikatnya, manusia berkepentingan untuk bersama dan bekerja sama dalam kehidupan.
Sebagai konsekuensi dari nilai solidaritas adalah nilai kuasa. Nilai kuasa atau nilai politik berfungsi untuk mengatur kehidupan bersama tadi. Jika nilai solidaritas lebih berdimensi horizontal yang membuat manusia saling mengasihi, menyayangi, dan tolong-menolong, maka nilai kuasa berdimensi vertikal yaitu mengatur kehidupan masyarakat yang mungkin melahirkan perebutan kekuasaan antar kelompok-kelompoknya dalam suatu integrasi yang dinamis.
Interrelasi nilai-nilai di atas dapat menciptakan suatu konfigurasi nilai-nilai yang bermacam-macam, gergantung kepada kualitas yang diberikan kepada masing-masing nilai oleh sebuah masyarakat. Masih menurut Sutan Takdir, kebudayaan barat yang menekankan nilai ekonomi dan nilai ilmu melahirkan teknologi yang maju. Hal inilah yang membuat kebudayaan barat besifat progresif. Kebudayaan ini berkembang atas dasar rasionalitas. Sebaliknya, kebudayaan timur yang menekankan nilai agama dan nilai seni serta berkembang atas dasar perasaan, intuisi, dan imajinasi melahirkan kebudayaan yang bersifat ekspresif.
Menghadapi tantangan globalisasi seperti di uraikan di muka, maka diperlukan suatu strategi kebudayaan dengan konfigurasi nilai yang relevan dengan tantangan tersebut.


C.    Modernisme Islam dan Masalah “Selective Borrowing”
Hampir semua kaum muslimin mengakui bahwa ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dua sumber yang bersifat transenden, mengatasi ruang dan waktu. Namun sebuah telaah terhadap Islam tentu tidak bisa hanya memahami kedua sumber yang transenden itu, sebab sebuah ajaran senantiasa mengalami proses aktualisasi kedalam realitas sosial para penganutnya.
 Aktualisasi doktrin kedalam realitas sosial penganutnya itulah yang disebut dengan corak keberagaman kaum muslimin. Corak keberagaman senantiasa dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal yanh meliputi kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin agama bersangkutan. Kedua, faktor-faktor politik. Sepanjang sejarah Islam telah muncul corak beragaman yang tak terbilang banyaknya, bahkan nyaris sejumlah kelompok yang menganut agama itu.
Memasuki abad 20 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh ekspansi peradaban Barat ke dunia Islam yang membuat kaum muslimin tertegun seakan tak berdaya setelah menyadari betapa mundurnya umat Islam itu bila dihadapkan dengan kemajuan Barat. Setiap modernis dalam melontarkan gagasan-gagasannya tampaknya senantiasa berangkat dari keprihatinannya terhadap keterbelakangan umat Islam dibanding dengan masyarakat Modern Barat, dan seterusnya mencari jalan pemecahan untuk membawa umat Islam itu kepada kemajuan.
Mereka melihat umat Islam itu demikian terbelakang disebabkan tangan dan kakinya terlihat kuat oleh sikap taklid pada pemahaman para pendahulu terhadap agama. Masyarakat Islam pada umumnya seolah-olah menerima begitu saja klaim para pendahulunya terhadap agama dan nyaris tidak pernah mempertanyakan keabsahan klaim tersebut. Maka untuk memajukan umat Islam itu, pada umumnya para pembaru melakukan usaha dalam beberapa tahapan.[4] Tahap pertama, mereka menggagaskan dilakukannya ijtihad dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam di abad modern. Tahap kedua, mereka menggagaskan peminjaman peradaban Barat yang dipandang mendapat legalisasi dari  ajaran agama yang bersifat dasar. Kedua, visi yang tradisional, yang berkeyakinan bahwa untuk meraih kemajuannya, umat Islam tidak berkeyakinan bahwa untuk merih kemajuannya, umat Islam tidak perlu meminjam peradaban  Barat, akan tetapi mereka harus membangun sendiri peradabannya berdasarkan ortodoksi Islam sendiri. Ketiga, visi sintetik, yang berkeyakinan bahwa didalam Al-Qur’an tidak terdapat petunjuk yang rinci mengenai bagaimana cara membangun sebuah peradaban Islam. Untuk itu umat Islam diperkenankan meminjam peradaban bangsa lain dalam mencapai kemajuannya, yakni peradaban yang dapat menumbuh kembangkan prinsip-prinsip universal yang diajarkan kitab suci.[5]
Pembaratan yang tak terelakkan
Memang bagi bangsa-bangsa bukan Barat, jika ingin memodernisir dirinya, terpaksa pada permulaan prosesnya harus meminjam paradigma modern Barat, atau berdasarkan paradigma yang ada membuat paradigma baru. Namun hasilnya tidak dapat dipandang sama sekali orisinal, melainkan sekedar pinjaman (borrowing) dari yang ada di Barat. Meskipun bagi bangsa yang sangat kreatif seperti Jepang. Di sinilah bangsa bukan Barat menghadapi, paling tidak dua masalah.[6]
Pertama, berhimpitnya modernisasi dengan westernisasi, sebab meskipun watak dan dinamikanya peradaban modern adalah peradaban dunia, namun pada kenyataannya ia banyak membawa serta sisa limpahan budaya Barat, sisa limpahan ini memang sering kali ditemukan bertentangan dengan budaya maupun kepercayaan umat Islam, sehingga senantiasa merupakan faktor negatif yang disoroti kritisi Muslim. Namun mereka seyogyanya tidak hanya menonjolkan faktor negatifnya, melainkan harus memandang peradaban itu secara objektif, sehingga umat Islam betul-betul siap tanpa merasa berdosa atau “malu-malu” untuk mengambilnya.
Kedua, bangsa-bangsa bukan Barat seringkali dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah untuk menetapkan mana dari kedua aspek (material dan humanisme) yang harus didahulukan, sebab sangat erat kaitannya dengan persiapan bangsa yang bersangkutan. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa contoh:
India misalnya, karena besarnya kalangan atasa yang berpendidikan Barat dibawah pemerintahan kolonial Inggris, secara amat menarik menunjukkan keberhasilannya tampil sampai batas tertentu menerapkan aspek kemanusiaan dari peradaban Barat Modern, yaitu dari sistem pemerintahan yang demokratis, meskipun menghadapi kenyataan masyarakatnya yang mengenal sistem kasta yang kaku. India berhasil mewujudkan dirinya sebagai demokrasi terbesar dunia namun perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa kemelaratan rakyatnya senantiasa menjadi sumber ancaman kelangsungan demokrasi itu.
Thaha Husein mengetengahkan, paling tidak ada empat alasan mengapa umat Islam dengan mudah dapat meminjam peradaban Barat.
Pertama, disadari atau tidak, hari demi hari umat Islam tengah bergerak mendekati Barat, baik dari segi pikiran maupun penampilannya, mengacu pada alasannya yang pertama ini, kita  memang dapat melihat sekarang ini umat Islam  banyak mengukur kemajuannya dibidang materi, dari semua individu dan masyarakat dengan sejauh mana ia telah bergaya Barat.
H.A.R Gibb  pernah menjelaskan tiga hukum bagi sebuah peminjaman budaya asing oleh suatu bangsa:
Pertama, suatu kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak sesuatu unsur dari kebudayaan, pengaruh-pengaruh kebudayaan (bukan unsur-unsur tambahan yang dangkal, melainkan unsur-unsur yang benar diasimilasikan), selalu didahului oleh kegiatan yang sudah ada dalambidang-bidang yang berkaitan. Dan kegiatan yang sudah ada itulah yang menciptakan faktor daya tarik, dan tanpa itu tidak akan terjadi penyerapan yang kreatif.
Kedua, unsur-unsur yang dipinjam hanya mendorong vitalitas yang berkembang dari kebudayaan peminjam, sejauh unsur-unsur itu dihidupi oleh kegiatan-kegiatan yang pertama-tama telah menyebabkan peminjaman itu. Jika unsur-unsur itu berkembang demikian subur sehingga menggantikan atau mengancam kekuatan kekuatan rohaniah asli, unsur-unsur itu lalu menjadi destruktif. Suatu kebudayaan yang hidup mengizinkan unsur-unsur peminjam itu untuk berkembang sejauh unsur-unsur itu dapat disesuikan dan dipadukan dengan ketentuan-ketentuan sendiri, akan tetapi menentang dengan sekuat tenaga pertumbuhannya yang terlalu subur.
Ketiga, kebudayaan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya, sikap emosional atau kriteria-kriterianya sendiri. Mungkin saja diusahakan untuk mencangkokan unsur-unsur itu, akan tetapi cangkokan itu tidak akan jadi dan akan mati begitu saja.
Keempat,  Thaha Husein berpendapat bahwa kehidupan Eropa bukanlah kehidupan yang penuh dosa dan maksiat semata, tetapi juga mengandung kebaikan dan manfaat, suatu realitas yang tak dapat dipungkiri kini umat Islam mengalami kemunduran. Ini menunjukkan bahwa disana dalam kehidupan umat Islam itu, telah terjadi banyak keburukan, memang pada dasarnya dalam kehidupan, baik individu maupun masyarakat tidak bisa terlepas dari baik dan buruk, dimana dan kapan saja.
Kelima, Thaha Husein mengedepankan tinjauan sejarah. Menurutnya, umat Islam khususnya pada masa Daulah Umayyah maupun Daulah Abasiyah, tidak merasa risih untuk mengambil semua perangkat yang membawa kepada kemajuan dari kebudayaan Parsi dan Yunani dan bahkan Cina. Mereka tidak pernah menolak setiap perangkat itu meskipun mereka menyadari bahwa disana tersimpan pula keburukan-keburukan yang merusak moral dan aqidah. [7]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kita menyaksikan dewasa ini dampak negatif dari globalisasi, yaitu berkembangnya beberapa kencenderungan hidup, seperti kecenderungan materialistik (pendewaan terhadap materi), kecenderungan individualistik (pendewaan terhadap diri), dan kecenderungan hedonistik (pendewaan terhadap hasrat badani).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagaian masyarakat indonesia, terutama di kota-kota besar. Ketiga kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama.
Pertama, karena perkembangannya kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan adanya penentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat dikalangan masyarakat luas, yang apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.








DAFTAR PUSTAKA

M. Din syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (jakarta: logos, 2000)
Syahrin Harahap, Islam dinamis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997)


[1] M. Din syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (jakarta: logos, 2000), h. 169.
[2] Ibid, h. 171
[3] Ibid, h. 172
[4] Syahrin Harahap, Islam dinamis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997),  h.180
[5] ibid
[6] Ibid, h. 181
[7] Ibid, h. 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar