Minggu, 23 Februari 2014

makalah tentang KEBUDAYAAN KEAGAMAAN MENGHADAPI GLOBALISASI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Globalisasi dewasa ini menampilkan suatu corak hubungan antar bangsa yang tidak seimbang. Hubungan antar negara-negara maju dan negara-negara berkembang masih ditandai oleh polarisasi kuat-lemah. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya “akulturasi asimetris” yaitu bahwa pengaruh negara-negara maju yang dominan dalam bidang ekonomi dan iptek atas dasar negara-negara berkembang juga memasuki bidang-bidang non- ekonomi, seperti politik dan budaya.
Akulturasi asimetris mendorong penetrasi budaya asing ke dalam wilayah budaya nasional suatu bangsa dan mengakibatkan terjadinya transformasi budaya yang timpang. Proses transformasi budaya ini acapkali menimbulkan “keterkejutan budaya” dikalangan bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya yang kuat. Sebagai akibatnya, bangsa tersebut mengalami keagamaan budaya dan terjebak ke dalam persepsi kehebatan budaya bangsa  lain.
Pada tingkat tertentu gejala keagamaan budaya menghadapi sebagaian masyarakat indonesia, seperti tampak pada responsi terhadap pengaruh budaya saing yang tidak kritis, rasional dan proporsional. Umpamanya lebih menekankan pengambilalihan budaya dalam arti terbatas (seni dan mode kehidupan) dari pada pengambilalihan iptek.

B.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui kebudayaan keagamaan menghadapi globalisasi


BAB II
PEMBAHASAN

A.       KEBUDAYAAN KEAGAMAAN MENGHADAPI GLOBALISASI
Sebagai proses mendunianya kehidupan umat manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dasyat, yang menciptakan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[1]
Sebagai akibat dari modernisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industri. Masyarakat modern mempunyai pandangan dunia yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia mempunyai pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler (humanisme sekuler) yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal- pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta-benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).
Masyarakat modern sering juga disebut sebagai manusia tekno-struktur sangat terikat dengan struktur-struktur kehidupan yang teknologis. Manusia, dalam hal ini, menjadi otomaton-otomaton kehidupan, yang percaya pada kemampuan diri namun sangat tergantung pada benda yang diciptakannya sendiri.
Dalam pada itu, tidak ada tempat dalam masyarakat industrial modern bagi sesuatu yang bersifat immateri atau rohani, karena apa yang disebut immateri dan rohani merupakan hasil dari sesuatu yang bersifat materi dan bendawi. Manusia dan masyarakat mengalami kegersangan dan bahkan kekosongan nilai spiritualitas. Sebagai akibatnya, manusia bersaing satu sama lain untuk merebut prestasi setinggi-tingginya dalam bidang materil, tanpa memperhatikan nilai etika dan moralitas.
Kita menyaksikan dewasa ini dampak negatif dari globalisasi, yaitu berkembangnya beberapa kencenderungan hidup, seperti kecenderungan materialistik (pendewaan terhadap materi), kecenderungan individualistik (pendewaan terhadap diri), dan kecenderungan hedonistik (pendewaan terhadap hasrat badani).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagaian masyarakat indonesia, terutama di kota-kota besar. Ketiga kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama.[2]
Pertama, karena perkembangannya kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan adanya penentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat dikalangan masyarakat luas, yang apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.

B.     STRATEGI KEBUDAYAAN
Untuk menghadapi fenomena diatas dibutuhkan adanya strategi kebudayaan, yakni kerangka praktis yang melibatkan unsur-unsur kebuyaan soaial, ekonomi, politik, iptek, seni dan agama untuk mewujudkan cita-cita sosial sesuatu masyarakat.
Jika cita-cita sosial tersebut diletakkan dalam konteks agama maka masyarakat ideal yang ingin diwujudkan dengan strategi kebudayaan adalah masyarakat agama atau masyarakat keagamaan. Karena tujuannya bersifat keagamaan karena pendekatan strategi kebudayaan yang akan diterapakan harus pula bersifat keagamaan, atau berdasarkan nilai-nilai agama.
Strategi kebudayaan perlu bertolak dari suatu teori nilai, meminjam istilah Sutan Takdir Alisyahbana, yaitu teori yang menentukan motivasi, tujuan, dan cara maupun logika manusia untuk mengembangkan dirinya dalam hidup berbudaya.
Menurut takdir, terdapat enam nilai strategis (berdasarkan agama) yang harus dikembangkan dalam pembangunan kebudayaan nasional indonesia. Keenam nilai tersebut ialah:[3]
1)                       Nilai agama,
2)                       Nilai ekonomi,
3)                       Nilai ilmu,
4)                       Nilai keindahan,
5)                       Nilai solidaritas,
6)                       Nilai kuasa atau politik.
Nilai agama merupakan nilai dasar yang berfungsi mendorong manusia atau masyarakat untuk memahami hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Penghayatan tentang hal ini akan memberikan makna bagi masyarakat dalam kehidupan kebudayaannya.
Nilai ekonomi merupakan nilai dasar kedua bi bawah nilai agama. Nilai ekonomi adalah nilai dasar. Bahkan menurut Sutan Takdir, berdasarkan dalam kebudayaan masyarakat, karena jika nilai ini tidak terpenuhi maka masyarakat tidak bisa hidup untuk membangun kebudayaannya. Nilai ekonomi akan membawa manusia untuk menciptakan kegunaan alam sekitar sesuai hukum dan norma alam itu sendiri.
Nilai ilmu berfungsi untuk menyelidiki dan mengetahui hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan itu sendiri. Pengetahuan akan hukum alam yang mengakibatkan penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa kemungkinan dan kemudahan bagi manusia untuk menjalankan kehidupan dan membangun kebudayaannya.
Sebagai nilai keempat adalah nilai keindahan. Nilai ini, bisa juga disebut nilai seni, berfungsi untuk mendatangkan bagi manusia kepuasan perasaan. Dalam hal ini, penghadapan manusia terhadap alam bukan hanya untuk memperoleh kemungkinan kegunaan (sebagai hasil dari ilmu pengetahuan) tapi juga sebagai sumber kepuasan batin tentang keindahan.
Nilai solidaritas juga penting, terutama dalam hubungan manusia dengan sesama manusia. Nilai ini untuk mempersatukan umat manusia (masyarakat) dalam membina kehidupan bersama dalam masyarakat. Pada hakikatnya, manusia berkepentingan untuk bersama dan bekerja sama dalam kehidupan.
Sebagai konsekuensi dari nilai solidaritas adalah nilai kuasa. Nilai kuasa atau nilai politik berfungsi untuk mengatur kehidupan bersama tadi. Jika nilai solidaritas lebih berdimensi horizontal yang membuat manusia saling mengasihi, menyayangi, dan tolong-menolong, maka nilai kuasa berdimensi vertikal yaitu mengatur kehidupan masyarakat yang mungkin melahirkan perebutan kekuasaan antar kelompok-kelompoknya dalam suatu integrasi yang dinamis.
Interrelasi nilai-nilai di atas dapat menciptakan suatu konfigurasi nilai-nilai yang bermacam-macam, gergantung kepada kualitas yang diberikan kepada masing-masing nilai oleh sebuah masyarakat. Masih menurut Sutan Takdir, kebudayaan barat yang menekankan nilai ekonomi dan nilai ilmu melahirkan teknologi yang maju. Hal inilah yang membuat kebudayaan barat besifat progresif. Kebudayaan ini berkembang atas dasar rasionalitas. Sebaliknya, kebudayaan timur yang menekankan nilai agama dan nilai seni serta berkembang atas dasar perasaan, intuisi, dan imajinasi melahirkan kebudayaan yang bersifat ekspresif.
Menghadapi tantangan globalisasi seperti di uraikan di muka, maka diperlukan suatu strategi kebudayaan dengan konfigurasi nilai yang relevan dengan tantangan tersebut.


C.    Modernisme Islam dan Masalah “Selective Borrowing”
Hampir semua kaum muslimin mengakui bahwa ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dua sumber yang bersifat transenden, mengatasi ruang dan waktu. Namun sebuah telaah terhadap Islam tentu tidak bisa hanya memahami kedua sumber yang transenden itu, sebab sebuah ajaran senantiasa mengalami proses aktualisasi kedalam realitas sosial para penganutnya.
 Aktualisasi doktrin kedalam realitas sosial penganutnya itulah yang disebut dengan corak keberagaman kaum muslimin. Corak keberagaman senantiasa dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal yanh meliputi kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin agama bersangkutan. Kedua, faktor-faktor politik. Sepanjang sejarah Islam telah muncul corak beragaman yang tak terbilang banyaknya, bahkan nyaris sejumlah kelompok yang menganut agama itu.
Memasuki abad 20 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh ekspansi peradaban Barat ke dunia Islam yang membuat kaum muslimin tertegun seakan tak berdaya setelah menyadari betapa mundurnya umat Islam itu bila dihadapkan dengan kemajuan Barat. Setiap modernis dalam melontarkan gagasan-gagasannya tampaknya senantiasa berangkat dari keprihatinannya terhadap keterbelakangan umat Islam dibanding dengan masyarakat Modern Barat, dan seterusnya mencari jalan pemecahan untuk membawa umat Islam itu kepada kemajuan.
Mereka melihat umat Islam itu demikian terbelakang disebabkan tangan dan kakinya terlihat kuat oleh sikap taklid pada pemahaman para pendahulu terhadap agama. Masyarakat Islam pada umumnya seolah-olah menerima begitu saja klaim para pendahulunya terhadap agama dan nyaris tidak pernah mempertanyakan keabsahan klaim tersebut. Maka untuk memajukan umat Islam itu, pada umumnya para pembaru melakukan usaha dalam beberapa tahapan.[4] Tahap pertama, mereka menggagaskan dilakukannya ijtihad dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam di abad modern. Tahap kedua, mereka menggagaskan peminjaman peradaban Barat yang dipandang mendapat legalisasi dari  ajaran agama yang bersifat dasar. Kedua, visi yang tradisional, yang berkeyakinan bahwa untuk meraih kemajuannya, umat Islam tidak berkeyakinan bahwa untuk merih kemajuannya, umat Islam tidak perlu meminjam peradaban  Barat, akan tetapi mereka harus membangun sendiri peradabannya berdasarkan ortodoksi Islam sendiri. Ketiga, visi sintetik, yang berkeyakinan bahwa didalam Al-Qur’an tidak terdapat petunjuk yang rinci mengenai bagaimana cara membangun sebuah peradaban Islam. Untuk itu umat Islam diperkenankan meminjam peradaban bangsa lain dalam mencapai kemajuannya, yakni peradaban yang dapat menumbuh kembangkan prinsip-prinsip universal yang diajarkan kitab suci.[5]
Pembaratan yang tak terelakkan
Memang bagi bangsa-bangsa bukan Barat, jika ingin memodernisir dirinya, terpaksa pada permulaan prosesnya harus meminjam paradigma modern Barat, atau berdasarkan paradigma yang ada membuat paradigma baru. Namun hasilnya tidak dapat dipandang sama sekali orisinal, melainkan sekedar pinjaman (borrowing) dari yang ada di Barat. Meskipun bagi bangsa yang sangat kreatif seperti Jepang. Di sinilah bangsa bukan Barat menghadapi, paling tidak dua masalah.[6]
Pertama, berhimpitnya modernisasi dengan westernisasi, sebab meskipun watak dan dinamikanya peradaban modern adalah peradaban dunia, namun pada kenyataannya ia banyak membawa serta sisa limpahan budaya Barat, sisa limpahan ini memang sering kali ditemukan bertentangan dengan budaya maupun kepercayaan umat Islam, sehingga senantiasa merupakan faktor negatif yang disoroti kritisi Muslim. Namun mereka seyogyanya tidak hanya menonjolkan faktor negatifnya, melainkan harus memandang peradaban itu secara objektif, sehingga umat Islam betul-betul siap tanpa merasa berdosa atau “malu-malu” untuk mengambilnya.
Kedua, bangsa-bangsa bukan Barat seringkali dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah untuk menetapkan mana dari kedua aspek (material dan humanisme) yang harus didahulukan, sebab sangat erat kaitannya dengan persiapan bangsa yang bersangkutan. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa contoh:
India misalnya, karena besarnya kalangan atasa yang berpendidikan Barat dibawah pemerintahan kolonial Inggris, secara amat menarik menunjukkan keberhasilannya tampil sampai batas tertentu menerapkan aspek kemanusiaan dari peradaban Barat Modern, yaitu dari sistem pemerintahan yang demokratis, meskipun menghadapi kenyataan masyarakatnya yang mengenal sistem kasta yang kaku. India berhasil mewujudkan dirinya sebagai demokrasi terbesar dunia namun perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa kemelaratan rakyatnya senantiasa menjadi sumber ancaman kelangsungan demokrasi itu.
Thaha Husein mengetengahkan, paling tidak ada empat alasan mengapa umat Islam dengan mudah dapat meminjam peradaban Barat.
Pertama, disadari atau tidak, hari demi hari umat Islam tengah bergerak mendekati Barat, baik dari segi pikiran maupun penampilannya, mengacu pada alasannya yang pertama ini, kita  memang dapat melihat sekarang ini umat Islam  banyak mengukur kemajuannya dibidang materi, dari semua individu dan masyarakat dengan sejauh mana ia telah bergaya Barat.
H.A.R Gibb  pernah menjelaskan tiga hukum bagi sebuah peminjaman budaya asing oleh suatu bangsa:
Pertama, suatu kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak sesuatu unsur dari kebudayaan, pengaruh-pengaruh kebudayaan (bukan unsur-unsur tambahan yang dangkal, melainkan unsur-unsur yang benar diasimilasikan), selalu didahului oleh kegiatan yang sudah ada dalambidang-bidang yang berkaitan. Dan kegiatan yang sudah ada itulah yang menciptakan faktor daya tarik, dan tanpa itu tidak akan terjadi penyerapan yang kreatif.
Kedua, unsur-unsur yang dipinjam hanya mendorong vitalitas yang berkembang dari kebudayaan peminjam, sejauh unsur-unsur itu dihidupi oleh kegiatan-kegiatan yang pertama-tama telah menyebabkan peminjaman itu. Jika unsur-unsur itu berkembang demikian subur sehingga menggantikan atau mengancam kekuatan kekuatan rohaniah asli, unsur-unsur itu lalu menjadi destruktif. Suatu kebudayaan yang hidup mengizinkan unsur-unsur peminjam itu untuk berkembang sejauh unsur-unsur itu dapat disesuikan dan dipadukan dengan ketentuan-ketentuan sendiri, akan tetapi menentang dengan sekuat tenaga pertumbuhannya yang terlalu subur.
Ketiga, kebudayaan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya, sikap emosional atau kriteria-kriterianya sendiri. Mungkin saja diusahakan untuk mencangkokan unsur-unsur itu, akan tetapi cangkokan itu tidak akan jadi dan akan mati begitu saja.
Keempat,  Thaha Husein berpendapat bahwa kehidupan Eropa bukanlah kehidupan yang penuh dosa dan maksiat semata, tetapi juga mengandung kebaikan dan manfaat, suatu realitas yang tak dapat dipungkiri kini umat Islam mengalami kemunduran. Ini menunjukkan bahwa disana dalam kehidupan umat Islam itu, telah terjadi banyak keburukan, memang pada dasarnya dalam kehidupan, baik individu maupun masyarakat tidak bisa terlepas dari baik dan buruk, dimana dan kapan saja.
Kelima, Thaha Husein mengedepankan tinjauan sejarah. Menurutnya, umat Islam khususnya pada masa Daulah Umayyah maupun Daulah Abasiyah, tidak merasa risih untuk mengambil semua perangkat yang membawa kepada kemajuan dari kebudayaan Parsi dan Yunani dan bahkan Cina. Mereka tidak pernah menolak setiap perangkat itu meskipun mereka menyadari bahwa disana tersimpan pula keburukan-keburukan yang merusak moral dan aqidah. [7]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kita menyaksikan dewasa ini dampak negatif dari globalisasi, yaitu berkembangnya beberapa kencenderungan hidup, seperti kecenderungan materialistik (pendewaan terhadap materi), kecenderungan individualistik (pendewaan terhadap diri), dan kecenderungan hedonistik (pendewaan terhadap hasrat badani).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagaian masyarakat indonesia, terutama di kota-kota besar. Ketiga kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama.
Pertama, karena perkembangannya kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan adanya penentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat dikalangan masyarakat luas, yang apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.








DAFTAR PUSTAKA

M. Din syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (jakarta: logos, 2000)
Syahrin Harahap, Islam dinamis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997)


[1] M. Din syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (jakarta: logos, 2000), h. 169.
[2] Ibid, h. 171
[3] Ibid, h. 172
[4] Syahrin Harahap, Islam dinamis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997),  h.180
[5] ibid
[6] Ibid, h. 181
[7] Ibid, h. 185

makalah ilmu pendidikan islam tentang periodesasi pendidikan



 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan karakter manusia. Sebagai suatu proses, pendidikan tidak hanya berlangsung pada suatu saat saja. Tetapi proses pendidikan harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sini lah kemudian muncul istilah pendidikan sepanjang hayat (life ling education), dan ada juga yang menyebut pendidikan terus menerus (continuing education).
Istilah islam sendiri telah menggariskan tentang proses pendidikan sepanjang hayat. Dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW bersabda: “tuntutlah ilmu sejak masih dalam ayunan hingga dimasukkan dalam liang kubur”. Bahkan bila diteliti labih jauh lagi, ternyata ditemukan beberapa ayat al-qur’an dan hadist Rasulullah yang tampak memberikan isyarat adanya proses pendidikan. Menurut hadist pemilihan jodoh (suami/istri) sebagai awal proses pendidikan, atau setidak-tidaknya dianggap sebagai masa persiapan proses pendidikan. Begitu pula akhir dari proses pendidikan pada saat berpisahnya nyawa dengan badan.
Karena perjalanan manusia melalui tahapan-tahapan tertentu, maka pembahasan tentang pendidikannya harus difokuskan pada tahapan-tahapan tersebut, yang biasanya disebut dengan priodesasi pendidikan islam. Adapun priode pendidikan islam dimaksud ialah: (1) pendidikan pranatal, (pemilihan jodoh, pernikahan, kehamilan dan (2) pendidikan pasca natal (pendidikan bayi, kanak-kanak, anak-anak, dan dewasa).

B.     TUJUAN PENULISAN

Untuk mengetahui periodesasi pendidikan islam. Yang dibagi menjadi dua, yaitu: pendidikan Pranatal (Tarbiyah Qabl Al-Wiladah) Dan Pendidikan Pascanatal (Tarbiyah Ba’da Al-Wiladah).




                                          MAKALAH
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
PRIODESASI PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Sri Andri Astuti, M.Ag


STAIN Colour.jpg


Disusun Oleh Kelompok 9 :

1.     Ayu Apriyani             : 1282391
2.     Eka Yulianti                : 1282841
3.     Wulanda Nur Juniati   : 1285141
Kelas : D
Jurusan : Tarbiyah
Prodi : PAI

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro
2013/2014
KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr.Wb.

            Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan hidayah untuk berfikir sehingga dapat melaksanakan tugas untuk pembuatan makalah dalam upaya untuk memenuhi syarat dalam mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang berjudul Periodesasi Pendidikan.
Dalam penulisan makalah ini penulis bermaksud untuk memenuhi tugas yang di berikan Dosen. Dan dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang di tulis masih sangat jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memeberikan imbalan dan tertulisnya makalah ini dapat bermanfaat dan kami minta maaf sebelumnya kepada Dosen, apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan saran-sarannya yang sifatnya membangun tentunya.


wassalamualaikum Wr.Wb.
                                 



Metro, Desember 2013



             Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.Latar Belakang ................................................................................... 1
B.Tujuan Penulisan................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 2
       A. Pendidikan Pranatal.............................................................................. 2
  1. Fase Pemilihan Jodoh........................................................................ 2
  2. Fase Perkawinan/Pernikahan............................................................. 4
  3. Fase Kehamilan................................................................................. 6
       B. Pendidikan Pascanatal.......................................................................... 10
1. Fase Bayi.......................................................................................... 10
2. Fase Kanak-kanak............................................................................. 11
3. Fase Anak-anak (16 – 12 tahun )...................................................... 12
4. Fase Remaja...................................................................................... 12
5. Fase Dewasa..................................................................................... 14

BAB III PENUTUP....................................................................................... 15
A.Kesimpulan......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 16







BAB II
PEMBAHASAN
PRIODESASI PENDIDIKAN ISLAM


A.      PENDIDIKAN PRANATAL (TARBIYAH QABL AL-WILADAH)

Pendidikan pranatal adalah pendidikan sebelum masa melahirkan. Masa ini ditandai dengan fase pemilihan jodoh, pernikahan dan kehamilan.

1.        Fase Pemilihan Jodoh
Fase ini adalah fase persiapan bagi seseorang yang sudah dewasa untuk menghadapi hidup baru yaitu berkeluarga.salah satu pendidikan yang harus dimiliki oleh seseorang yang sudah dewasa itu adalah masalah pemilihan jodoh yang tepat. Sebab masalah ini sangat mempengaruhi terhadap kebahagiaan rumah tangga nantinya.[1]
Menurut R.I.Suhartin, memilih jodoh harus ada syarat dan kriterianya. Kriterianya ini dibagi menjadi dua golongan yakni; kriteria umum dan kriteria bersifat khusus (subjektif). Syarat umum adalah bahwa seyoginya jodoh yang dipilih sudah dewasa agar tidak mengalami kesulitan dalam berkeluarga dan syarat khusus tentunya sesuai dengan selera masing-masing. Namun syarat yang terpenting saling cinta.
Berkenaan pemilihan jodoh dalam perkawinan, syariat Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum bagi masing-masing pelamar yang dilamar, yang apabila petunjuknya itu dilaksanakan maka perkawinan akan berada pada puncak keharmonisan, kecintaan dan keserasian.
Rasulullah telah memberikan gambaran dalam hadisnya mengenai pemilihan calon istri dan suami.berikut ini ada beberapa hadis yang berkenaan dengan pemilihan jodoh diantaranya:[2]


a)        Pemilihan Calon Istri
Sabda Rasulullah
Artinya :
Tidak akan saling bercinta-cintaan dua yang karena Allah SWT., kecuali yang lebih utama antara keduanya yaitu bagi yang lebih hebat cintanya yang satu terhadap yang lainnya. (HR. Bukhari).
Artinya :
Wanita itu dinikahi karna empat pertimbangan; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dapatkanlah wanita yang memiliki agama, akan beruntunglah kamu. (HR. Bukhari Muslim)
Artinya :                                            
Dunia ini adalah perhiasan, sebaik-baiknya perhiasan adalahwanita yang shalehah. (HR. Muslim)
Artinya :
Seleksi untuk air mani (calon istri) kamu sekalian dan kawinlah oleh kamu sekalian orang-orang yang sama derajatnya (HR. Daruquthni dan Ibnu Majah).
Artinya:
Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dari bodoh.
Artinya :
Carilah untuk kalian wanita-wanita yang jauh, dan janganlah mencari wanita yang dekat (yang lemah badannya dan lemah otaknya.
Artinya :
Kawinlah olehmu sekalian gadis-gadis. Sebab mereka itu lebih manis pembicaraannya, lebih banyak melahirkan anak, lebih sedikittuntunan dan tipuanserta lebih menyukai kemudahan. (HR. Ibnu Majah dan Baihagi).
Dari penjelasan hadis Rasulullah diatas, maka dapatlah diambil beberapa syarat yang penting untuk memilih calon istri diantaranya:
1)        Saling mencintai antara calon kedua menilai
2)        Memilih wanita karena agamanya agar nantinya mendapat berkah dari Allah SWT.
3)        Wanita yang sholehah
4)        Sama derajatnya dengan calon mempelai
5)        Wanita yang hidup di lingkungan yang baik
6)        Wanita yang jauh keturunannya dan jangan memilih wanita yang dekat sebab dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh
7)        Wanita yang gadis dan subur (bisa melahirkan)[3]

b)        Pemilihan Calon Suami
Hadis mengenai calon suami tidak banyak ditemukan sebagai mana hadis tentang calon istri. Mengenai calon suami Rasulullah bersabda :
Artinya :
Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang agama dan akhlaknya kamu ridhai, maka kawinlah ia, jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka akan menjadi fitrah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan. (HR. Tirmidzi).
Awal mula pendidikan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan pernikahan, yaitu melaksanakan susunan Rasul, lahirnya keturunan yang dapat meneruskan risalahnya. Pernikahan yang baik dilandasi keinginan untuk memelihara keturunan, tempat menyemaikan bibit iman, sejahtera, dan sakinah, penuh mawadah dan waramah. Oleh karena itu pemilihan pasangan sebelum nikah pun menajdi kepedulian utama dalam merancang pendidikan anak. Apabila salah dalam memilih pasangan akan mendatangkan murka dan kemarahan Allah akan membuat manusia sengsara dunia akhirat.[4]
Rasulullah SAW tidaklah hanya menganjurkan kepada seseorang pria untuk memilih calon istri yang taat beragama, akan tetapi juga menganjurkan kepada perempuan untuk memilih calon suami yag taat beragama.[5]

2.        Fase Perkawinan/Pernikahan
MeurutAbdullah Nasih Ulwah, masalah perkawinan terdiri dari 2 aspek yakni perkawinan sebagai fitrah insani, perkawinan sebagai kemaslahatan sosial.[6]
Ada beberapa aspek yang dijelaskan oleh syariat Islam yang berhubungan dengan anjuran pernikahan atau perkawinan di antaranya:
a)        Perkawinan merupakan sunah Rasulullah
Hal ini dijelaskam oleh Nabi dalam hadis beliau sebagai berikut:
Artinya:
“Siapa saja yang mampu untuk menikah, namun ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golongan ku. (H.R. Thabrani dan Baikaki)
b)        Perkawinan untuk ketentraman dan kasih sayang
Penjelasan ini terdapat dalam firman Allah SWT.
Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasakasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS, Al-Rum : 21).
c)        Perkawinan untuk mendapatkan keturunan
Keterangan ini dijelaskan Allah SWT.
Artinya :
“Allah telah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu” (QA. An-Nahl : 72)
d)       Perkawinan untuk memelihara pandangan dan menjaga kemaluan dari kemaksiatan
Rasulullah telah bersabda :
Artinya :
Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri daripadanya Allah menciptakan Istrinya dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak (QS. An-Nisa : 1).
Setelah calon dipilih, diadakan peminang, selanjutnya di laksanakan pernikahan dengan walimat al-‘urusy-nya. Sesuatu yang menarik dalam pernikahan dalam Islam adalah dibacakannya khutbah nikah sebelum ijab qabul.[7]
Dalam khutbah nikah terkandung nilai-nilai pendidikan, yaitu : (1) peningkatan iman dan amal, (2) pergaulan baik antara suami dengan istri, (3) kerukunan rumah tangga, (4) memelihara silaturahmi, (5) mawas diri dalam segala tindak dan perilaku.[8]
Setelah pernikahan selesai, maka suami istri sudah boleh bergaul dengan melakukan persetubuh disunatkan membaca doa sebagai berikut :
“Dengan nama Allah, ya Allah jauhkan syetan dari kami dan jauhkan syetan itu dari anak yang (mungkin) Engkau karuniakan kepada kami.“ (H.R.Muttafaq’alaih.)

3.        Fase Kehamilan
Salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk mendapatkan keturunan karena itu seorang istri sangat mengharapkan iadapat mel;ahirkan seorang anak. Sebagai tanda seorang istri akan meiliki seorang anak adalah melalui proses kehamilan selama lebih kurang 9 bulan.
Agar dapat memperoleh anak, Islam mengajarkan agar selalu bermohon kepada Allah dengan membaca do’a seperti Nabbi Ibrahim, sebagai mana firman Allah SWT :
Artinya :
Ya Tuhanku berilah aku anak yang saleh” (QS.As-Shafat ayat 100).
Kemudian setelah terjadi masa konsepsi, maka proses pendidikan sudah bisa dimulai, walau masih bersifat tidak langsung. Tahap ini sudah selangkah lebih maju dibandingkan yang pertama. Masa pasca konsepsi disebut juga dengan masa kehamilan. Secara umum, masa kehamilan itu berlangsung kurang lebih 9 bulan 10 hari, ada juga yang kurang atau lebih dari itu. Walau masa itu relatif lebih pendek dari pada selainnya, namun periode ini memberikan makna yang sangat penting begi proses pembentukan kepribadian manusia berikutnya.
Menurut sabda Nabi masa kehamilan itu mempunyai beberapa tahap. Pertama; tahap nutfah. Kedua tahap ‘alaqah. Ketiga tahap mudghah.[9]
Walaupun al-Qur’an dan Hadits Rasulullah tidak menjelaskan secara langsung dan rinci tentang proses pendidikan yang terdapat dalam pristiwa tersebut , namun Islam melihatnya dari aspek pendidikan minimal ada tiga faktor untuk dibicarakan. Pertama, harus diyakini bahwa periode dalam kandungan pasti bermula dari adanya kehidupan (al-hayat). Keyakinan tersebut berdasarkan pada suatu kenyataan, yaitu terjadinya perkembangan. Perkembangan yang berawal dari nuthfah hingga mudgah, kemudian menjadi seorang bayi, berarti nutfah itu sendiri sudah mengandung unsur kehidupan (al-hayat).[10]
Kedua, sebagaimana keterangan diatas, yaitu setelah berbentuk sekerat daging (mudghah) Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Tampaknya ruh inilah yang menjadi titik mula dan sekaligus awal mula bergeraknya motor kehidupan psikis manusia. Berarti pada saat itu, kehidupan janin bersifat biologis, sejak itu sudah mencakup aspek kehidupan psikis.[11]
Dikatakan, pada bulan keempat itu jantung janin mulai bekerja, sehingga getarannya dapat dipantau dengan shetescope. Semenjak itu janin sudah bisa bergerak, yang semakin lama semakin menguatkan geraknya. Di samping itu ada ruh atau jiwa, itulah si janin mulai dapat malakukan tugas-tugas seperti merasa, berfikir, mengingat, membayangkan, mengangan-angan, dan sebagainya. Semuanya itu menunjukka adanya kehidupan jiwany.
Ketiga,  ada satu aspek penting lagi bagi si janin pada masa dalam kandungan, yaitu aspek agama. Sebenarnya naluri agama pada setiap individu ini sudah menancap sedemikian jauh, bahkan sejak sebelum kelahirannya di dunia nyata. Ungkapan demikian ini sesuai dengan yang diisyaratkan al-Qur’an. Menurut ayat itu secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Dikatakan beragama, karena secara naluri, manusia pada hakekatnya selalu mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, berarti manusia memiliki potensi kesiapan untuk mengenal dan mengakui keberadaan tuhan.[12]
Di dalam rahim setiap janin tetlindung dari semua pengaruh kondisi luar kecuali yang dapat sampai melalui ibu yang mengandungnya. Rasa aman dan perlindungan itu tidak akan pernah ditemui anak setelah ia lahir.
Pada masai itu hubungan janin sangat erat dengan ibunya. Untuk itu sang ibu berkewajiban memelihara kandungannya, antara lain : dengan memakan makanan yang bergizi, menghindari benturan-benturan, menjaga emosinya dari perasaan sedih yang berlarut-larut atau marah yang meluap-luap, menjauhi minuman keras, merokok dan berbagai jenis yang diharamkan Allah SWT, menjaga rahim agar jangan samapai terkena penyakit atau infeksi. Dalam kondisi seperti itu insya Allah usaha pemeliharaan akan menjadikan janin sebagai anak yangsehat jasmani dan rohaninya setelah lahir, sebagai kondisi dasar yang sangat besar pengaruhnya bagi proses pendidikan selanjutnya.
Oleh karena itu proses pendidikan sudah dimulai sejak anak dalam kandungan (pranatal education) yaitu masa perkembangan anak sebelum lahir dan masih berada dalam kandungan ibu. Masa ini mulai semenjak periode konsepsi (pertemuan sperma dan ovum). Proses ini berkembang samapai anak itu lahir ke dunia yang memakan waktu lebih kurang 9 bulan.
Proses pendidikan itu dilaksanakan secara tidak langsung (indirect) seperti berikut :[13]   
a)        Seorang ibu yang telah hamil harus mendo’akan anaknya.
b)        Ibu harus selalu menjaga dirinya agar tetap memakan makanan dan minum-minuman yang halal.
c)        Ikhlas mendidik anak.
d)       Memenuhi kebutuhan istri. Suami harus memenuhi kebutuhan istri yang sedang mengandung, terutama pada masa-masa awal umur kandungannya.
Menurut Bauhaqi A.K ada beberapa kebutuhan istri yang harus dipenuhi :
1)   Kebutuhan untuk diperhatikan
2)   Kebutuhan kasih sayang
3)   Kebutuhan makanan ekstra
4)   Kebutuhan untuk mengabulkan beberapa kemauan yang aneh
5)   Kebutuhan akan ketenangan kebutuhan pengharapan
6)   Kebutuhan akan perawatan
7)   Kebutuhan akan keindahan
e)        Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT selalu mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah wajib maupun ibadah sunnat. Ibu/Bapak yang rajin beribadat maka jiwamu semakin bersih dan suci dan semakin dekat pula ia kepada Allah SWT.
f)         Kedua orang tua berakhlak mulia. Akhlak orang tua mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi rangsangan yang positif bagi anak dalam kandungan. Akhlak mulia yang harus menjadi hiasan orang tua adalah :
(1) Kasih sayang, (2) sopan dan lemah lembut, (3) pemaaf, dan (4) rujun dengan keluarga dan tetagga.
Pembentukan iman seharusnya mulai sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadian. Berbagai hasil pengaatan pakar kejiwaan manunjukkan bahwa janin  yang berada dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya. Hal tersebut tampak dalam perawatan kejiwaan, di mana keadaan keluarga ketika si anak dalam kandungan, mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental si janin di kemudian hari. (Zakiah Darajadjat, 1995: 55)[14]
Pendapat di atas mudah dipahami mengingat bahwa janin sudah mengangkat kesaksian akan kebutuhan Allah. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

B.       PENDIDIKAN PASCANATAL (TARBIYAH BA’DA AL-WILADAH)

1.        Fase Bayi
Masa bayi ini berlangsung dari usia 0 sampai 3 tahun. Setelah anak lahir, perlu dikumandangkan adzan dekat telinganya, agar pengalaman pertama lewat pendengaran adalah kalimat tauhid yang berintikan pengakuan dan keagungan. Allah dan kerasulan Muhamad. Ajaran kepada kemenangan dan seruan untuk beribadah diakhir dengan pernyataan dan keagungan serta kesam Allah. Bayi yang baru lahir memang belum mengerti arti kata “tauhid” dalam adzan tersebut, namun dasar keimanan dan keislaman sudah masuk kedalam hatinya.
Masa bayi disebut juga masa mulut (oral phase). Disebut demikian karena bayi dapat mencapai pemuasan kebutuhan hidupnya dengan menggunakan mulutnya. Apabila pemuasan kurang terpenuhi anak dapat menjadi pengisap ibu jari. Ciri khas pada masa mulut adalah[15]
a.    Pada bulan pertama bayi senang tidur , sehingga disebut si penidur.
b.    Hidupnya hanya makan, tidur dan dibersihkan sekan-akan hidupnya bersifat vegetatif seperti tumbuh-tumbuhan.
c.    Seakan-akan belum ada hubungan dengan dunia luar
d.   Apabila bangu, bergerak-gerak, mengelepar, membuka dan menutup tangan, menggerakkan badan dan sebagainya.
e.    Pada umur empat bulan bayi mulai miring, membalikkan badan dan mengangkat kepala, kemudian belajar merangkang, duduk, berdiri pada umur 1 tahun dapat berjalan dengan bantuan.

2.        Fasa Kanak-kanak
Pendidikan masa kanak-kanak berlangsung pada usia 3 sampai 12 tahun. Pada usia 3-6 tahun, anak memiliki sifat egosentris (raja kecil). Sebab, dirinya berada di pusat lingkungan yang ditampilkan anak dengan sikap senang menantang atau menolak sesuatu yang datang dari orang sekitarnya. Oleh karena itu, orang tua harus sabar dalam mendidik anaknya.
Perkembangan pada masa ini berlangsung dari usia 3-12 tahun dan masa anak-anak ini dibagi kepaada tiga fase, yaitu sebagai berikut.[16]

a.         Permulaan Masa Anak-anak
Pada awal masa ini sekitar usia 3 sampai dengan 5 tahun. Perkembangan ditandai dengan munculnya sikap egosentris pada diri setiap anak. Masa ini disebut juga dengan masa remaja kecil. Masa ini juga merupakan masa krisis pertama yang sangat memerlukan kesabaran dan kebijaksanaan bertindak orang tua sebagai pendidik. Orang tua sebaiknya tidak memaksa kehendak pada anak-anak harus ditumbuhkan kebiasaan melakukan sesuatu yang baik dan dikenal disiplin.
Jika dilihat dari aspek keagamaan, pada masa ini anak-anak belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi ia telah meiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Perkembangan kesadaran dan beragama anak-anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan orang tuanya.
John Locke mengatakan bahwa anak-anak lahir bagaikan kertas putih yang akan dibentuk dan diarahkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar. Lahir bagaikan kertas putih dapat berarti peluang yang sangat besar bagi lingkungan, terutama keluarga untuk mewarnai dan bentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik pada anak.



b.        Pertengahan Masa Anak
Periode ini berlangsung dari umur 6 sampai dengan 9 tahun. Periode ini sangat penting artinya bagi peletakan dasar untuk perkembangan selanjutnya melalui sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan. Awal dari fase ini merupakan perulaan bagi anak-anak untuk mengenal orang dewasa di luar keluarga.
 Masa bersekolah yang didasari oleh perkembangan sikap sosial telah memungkinkan anak usia ini bergaul dengan orang dewasa dan teman sebayanya. Oleh karena itu, pelindung yang terbaik baginya adalah orang-orang dewasa yang beriman kepada Allah.
Pada masa ini, anak yang pada mulanya tertuju kepada dirinya sendiri bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar, terutama perilaku orang-orang di sekitarnya, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolah.

c.         Akhir Masa Anak-anak
Masa ini berlangung pada usia 9 sampai dengan 12 tahun. Masa ini merupakan lanjutan masa sebelumnya yang ditandai dengan berbagai kematangan aspek psikologis yang diperlukan untuk dapat ikut serta dalam proses pendidikan formal.

3.        fase Remaja
Masa ini berlangsung dari usia 12 sampai dengan 21 tahun yang terdiri atas tiga fase, antara lain sebagai berikut.[17]

a.         Masa pra-remaja
Masa ini berlangsung dari umur duabelas sampai dengan limabelas tahun. Fase ini ditandai dengan semakin meningkatnya sikap sosial pada anak.gejala pada masa ini adalah kecenderungan untuk bersaing yang berlangsung antar teman sebaya dan lingkungan jenis kelamin yang sama. Pada priode ini ada kesempatan untuk membantu anak, disamping menguasai ilmu dan teknologi yang sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Juga menumbuhkan sikap bertanggung jawab dan menghargai nilai-nilai, terutama yang bersumber dari agama islam.

b.        Masa pubertas
Masa ini berlangsung pada usia lima belas sampai dengan delapan belas tahun. Masa ini merupakan tahap akhir bagi individu dalam mempersiapkan dirinya untuk menjadi manusia dewasa yang berdiri sendiri. Pada fase ini anak banyak mengalami krisis, namun krisis itu tidak akan dirasakan berat jika sejak awal anak-anak dan para remaja telah hidup dalam keluarga yang menempatkan ajaran islam sebagai penuntunnya. Jika dalam diri remaja telah tertanam nilai-nilai religi maka sebagai orang yang beriman, ia akan selalu mampu menyikapi permasalahan hidup, baik yang muncul dari dalam maupun dari luar dirinya.

c.         Akhir masa remaja
Masa ini berlangsung antara usia 18 sampai dengan 21 tahun dan disebut juga masa awal kedewasaan. Pada masa ini, pembentukan dan perkembanganm suatu sistem moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan pengalaman keagamaan yang bersifat individual. Melalui kesadaran beragama dan pengalaman ketuhanan, akhirnya remaja akan menentukan Tuhannya yang berarti menemukan kepribadiannya.
Pada masa ini karakteristik perkembangan yang paing dominan adalah terbentuknya pandangan hidup tertentu berdasarkan falsafah hidupo yang disadari maupun tidak disadari telah menjadikan pengalaman dalam mengarungi kehidupan.


4.        Fase Dewasa
Pada usia dewasa biasanya seseorang sudah memiliki sifat kepribadian yang matang. Mereka telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari norma-norma agama maupun yang berada dalam kehidupan ataupun ajaran agama. Usia dewasa bisa dikatakan masa ketenangan jiwa, ketetapan hati dan keimanan yang tegas. Namun terkadang juga dijumpai orang-orang dewasa yang masih kegoncangan jiwa. Hal itu wajar terjadi, mengingat persoalan hidup tetap saja timbul, sekalipun mereka telah mencapai usia dewasa. Maka di sinilah sebenarnya letak perlunya pendidikan dan bimbingan bagi orang dewasa.
Netty hartati, menjelaskan bahwa masa dewasa ini dapat dibagi kepada tiga tahap.

a)        Fase dewasa dini
Yaitu masa pencarian kemantapan dan masa produktif, yaitu suatu maasa yang penuh masalah dan ketenangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan.

b)        Fase dewasa madya
Fase ini dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun,masa tersebut ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Pada masa 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik sering pula diikuti oleh penurunan daya ingat.

c)        Fase dewasa akhir (lansia)
Adapun ciri-ciri usia lanjut ini adalah:
1)      Merupakan periode kemunduran
2)      Perbedaan individual pada efek menua
3)      Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda.








BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

Pendidikan pranatal adalah pendidikan sebelum masa melahirkan. Masa ini ditandai dengan
1.        fase pemilihan jodoh,
2.        pernikahan dan
3.         kehamilan.

PENDIDIKAN PASCANATAL (TARBIYAH BA’DA AL-WILADAH)
1.        Fase bayi
2.        Fase kanak-kanak
3.        Fase remaja
4.        Fase dewasa
















DAFTAR PUSTAKA


Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002.

Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Amzah, 2010.



[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002) ibid., h. 302
[2] ibid., h. 303
[3] ibid., h. 305
[4] ibid., h. 306
[5] ibid., h. 307
[6] ibid
[7] ibid., h. 308
[8] ibid
[9] ibid., h. 309
[10] ibid
[11] ibid., h. 310
[12] ibid
[13] ibid., h. 311
[14] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Amzah, 2010) h. 116
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002) ibid., h. 313

[16] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Amzah, 2010) h. 119
[17] Ibid, h. 120