Senin, 03 Maret 2014

makalah tentang HADIST DHA’IF DAN SEBAB-SEBAB KEDHA’IFANNYA



HADIST DHA’IF DAN SEBAB-SEBAB KEDHA’IFANNYA

A.   Pengertian
Hadist dha’if adalah hadist mardud. Dari segi bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-qawi = kuat. Kelemahan dha’if ini karena sanad dan matan-nya tidak memenuhi kreteria hadist kuat yang diterima sebagai hujah.
Dalam istilah hadist dha’if adalah :
هُوَ مَا لَْم َيجْمَعْ صِفَةَ اْلحَسَنِ بِنَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadist  yang tidak menghimpun sifat hadist hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuh.
Atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَ اْلحَسَنِ
Hadist yang tidak menghimpun sifat hadist shahih dan hasan.
Jadi hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadist hasan atau shahih, misalnya sanad-nya tidak bersambung ( muttashil ), para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadzdz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘illah) pada sanad dan matan.
a.     Contoh Hadist Dha’if
Hadist yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi S.A.W. bersabda :
مَنْ َأتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً مِنْ دُبٍُر أًوْ كََاهِناً فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Dalam sanad diatas terdapat seorang dha’if yaitu Hakim Al-Atstram yang dinilai dha’if oleh para ulama.

b.     Hukum Periwayatan Hadist Dha’if
Hadist dha’if tidak identik dengan hadist mawdhu’ (hadist palsu). Diantara hadist dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapai adil dan jujur. Sedang hadist mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadist dha’if sekalaipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu:
a)     Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
b)    Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadist-hadist tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain
Dalam meriwayatkan hadist dha’if, jika tanpa sanad sebaiknya menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan  (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapai cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh).

c.      Pengamalan Hadist Dha’if
Para ulama berbeda pendapat dalam pengalaman hadist dha’if. Perbedaan itu dapat dibagi tiga pendapat:
a.     Hadist dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya Bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
b.     Hadist dha’if dapat diamalkan secara mutlak dalam keutamaan amal atau dalam masalah hukum, pendapat abu dawud dan imam ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadist dha’if lebih kuat dari pada pendapat para ulama.
c.      Hadist dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu:
1)    Tidak terlalu dha’if, seperti diantara perawinya pendusta (hadist mawdu’) atau dituduh dusta (hadist matruk) orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadist munkar).
2)    Masuk dalam kategori hadist yang diamalkan, seperti hadist muhkam (hadist maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadist lain), nasikh (hadist yang membatalkan hukum pada hadist sebelumnya), dan rajih (hadist yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
3)    Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadist dai Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
d.     Tingkatan Dha’if
Sebagai salah satu syarat hadist dha’if yang dapat diamalkan adalah tidak terlalu dha’if atau tidak terlalu buruk kedha’ifannya. Hadist yang terlalu buruk kedha’ifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-amal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadist dha’if yang terburuk adalah mawdu’, matruk, munkar, mu’alal, mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.

e.      Kitab-Kitab Hadist Dha’if
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadist dha’if adalah:
a.     Al-Marasil, karya Abu Dawud.
b.     Al-I’lal, karya Ad-Daruquthni.
c.      Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang dha’if adalah seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Ali’tidal karya Adz-Dzahabi.

B.   Dha’if Sebab Pengguguran Sanad
1.     Hadist Mursal
a.     Pengertian
Dari segi bahasa mursal dari kata أَرْسََل يُرْسِلُ إِرْسَالاً مُرْسَلٌ dengan makna   مُطْلَقٌ = terlepas atau bebas tanpa ada ikatan. Hadist dinamakan mursal karena sanad-nya ada yang terlepas atau gugur yakni dikalangan sahabat atau tabi’in. Dalam istilah ada beberapa pendapat tentang penertian hadist mursal ini, yaitu:
1)    Pendapat mayoritas muhadditsin diantaranya Al-Hakim, Ibnu Ash-Shalah, Ibnu Hajar, dan lain-lain.

هُوَ رِوَايَةَ التَّابِعِى مُطْلَقًا عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Adalah periwayatan tabi’in secara mutlak  (baik senior atau yunior) dari Nabi SAW.
2)    Pendapat Fuqaha’, Ushulliyyun, dan segolongan dari muhadditsin diantaranya Al-Khathib Al-Baghdadi, Abu Al-Hasan Bin Al-Qathan, dan An-Nawawi, ialah:
هُوَ مَا انْقَطَعَ إِسْنَادُهُ فِيْ أَيِّ مَوْضُعٍ مِنَ السَّنَدِ
Adalah hadist yang terputus isnadnya di mana saja dari sanad.
3)    Pendapat Al-Baiquni:
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ سَنَدِهِ الصَّحَابِي
Hadist yang gugur dari sanadnya seorang sahabat.
4)    Sebagian ahli ilmu berpendapat:
هُوَ رِوَايَةُ التَّابِعِيْ الكَبِيْرِ عَنِ الَّنبِيِّ صَلَّى اللُهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Yaitu periwayatan tabi’in senior dari Nabi SAW
5)    Menurut sebagian ulama muhadditsin:
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ آخِرِ إِسْنَادِهِ مِنْ بَعْدَ التَّابِعِي
Hadist yang gugur dari akhir sanadnya orang setelah tabi’in                       (sahabat).
Dari beberapa definisi diatas dapat dikompromikan bahwa hadist mursal adalah hadist yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi baik dari perkataan , perbuatan atau persetujuan, baik tabi’in senior atau yunior  tanpa menyebutkan penghubung antara seorang tabi’in dan Nabi yaitu seorang sahabat. Sebagian pendapat menegaskan, periwayatan tabi’in senior saja bukan tabi’in yunior, karena mayoritas periwayatan tabi’in senior dari sahabat, sedang periwayatan tabi’in yunior dari Nabi dimasukkan munqathi. Berbeda dengan pendapat fuqaha dan ushuliyyun yang memandang mursal lebih umum dimana saja penggugurannya.
a.     Contoh Hadist Mursal
Misalnya: Ibnu Sa’ad berkata dalam Thabaqat-nya:
أَيُّهَا النَّاسَ إِنَّماَ آنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
Wahai manusia sesungguhnya aku sebagai rahmat yang                   dihadiahkan.  
Abu Shalih As-Saman Az-Zayyat seorang tabi’in, dia menyandarkan berita hadist tersebut dari Nabi tanpa ada yang menjelaskan perantara sahabat yang menghubungkannya kepada Rasullulah.

b.     Macam-Macam Hadist Mursal
Ada tiga macam hadist mursal yaitu:
1)    Mursal Tabi’i
Mursal tabi’i sebagaimana ketenrangan diatas.
2)    Mursal Shahabi
Mursal shahabi yaitu periwayatan antara sahabat yunior dari Nabi, padahal mereka tidak melihat dan tidak mendengar langsung  dari beliau.
3)    Mursal Khafi
Mursal khafi adalah gugurnya perawi dimana saja tempat dari sanad   diantara dua orang perawi yang semasa tetapi tidak bertemu.
Contoh: hadist yang diriwayatkan oleh Al-Awam Bin Hausyab dari Abdullah Bin Abu Aufa berkata:
كَانَ النَّبِيُ إِذَا قَالَ بِلاَلٌ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ نَهْضُ وَ كَبَّرَ    
Adalah Nabi ketika bilal membaca: telah berdiri shalat iqamat, maka beliau bergerak dan takbir.
Untuk mengetahui mursal khafi melalui keterangan sebagian imam bahwa seorang perawi ini tidak pernah bertemu dengan pembawa berita itu atau tidak pernah mendengar secara mutlak atau pengakuan perawi sendiri bahwa ia tidak pernah bertemu atau mendengar dari pembawa berita. Atau dengan jalan sanad lain yang menambah antara dua orang yakni antar perawi dan pemberitannya.
a.     Kehujahan Hadist Mursal
Hadist mursal semestinya masuk dalam hadist dha’if yang mardud, karena ia tidak memenuhi persyaratan hadist maqbul yaitu ittihsal as-sanad (persambungan sanad), dan tidak diketahui sifat-sifat perawinya. Secara umum terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kehujahan mursal Tabi’in, yaitu ada tiga pendapat:
1)    Hukumnya shahih dan dapat dijadikan hujah, jika yang me-mursalkannya dapat dipercaya keadilannya dan ke-dhabith-annya.
2)    Dha’if tidak dapat dijadikan hujah, dengan alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas, maka mungkin saja selain sahabat, pendapat mayoritas muhaddaitsin dan banyak dikalangan fuqaha dan ushuliyyin.
3)    Dapat diterima dan dijadikan hujah, dengan beberapa syarat menurut Imam As-Syafi’i dan sebagian ahli ilmu.
Sedangkan kehujahan mursal shahabi ada dua pendapat dikalangan ulama, yaitu:
1)    Pendapat jumhur muhadditsin
Mursal shahabi shahih dapat dijadikan hujah, karena para sahabat semua bersifat adil dan periwayatan sahabat sangat langka dari tabi’in.
2)    Pendapat segolongan ushuliyin
Diantara mereka Abu Ishak Al-Asfarayini: tidak dapat dijadikan hujah, kecuali dapat dikatakan bahwa hadist tersebut hanya diriwayatkan dari sahabat.
Kehujahan mursal khafi, tergolong mardud dan dha’if karena tidak adanya persambungan sanad atau diantara periwayat tidak bertemu langsung dengan si pembawa berita.
a.     Buku hadist mursal
1)    Al-marasil, karya abu dawud.
2)    Al-marasil, karya ibnu abu hatim.
3)    Jami’ at-tahs’hil ahkam al-marasil, karya al-ala’i
4)    At-tafshil li mubham al-marasil, karya al-khathib.
2.     Hadist Munqathi’
a.     Pengertian
Kata munqathi berasal dari kata اِنْقَطَعَ يَْنقَطَعَ اِْنقِطَاعًا فَهٌوَ مٌنْقَطِعٌ  berarti terputus lawan dari kata muttasil= bersambung. Nama inqitha’ atau terputus karena ada sanad yang tidak tersambung.
Dalam istilah hadist munqathi’ ada 2 pendapat, yaitu:
1)    pendapat mayoritas muhadditsin:
hadist yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih sebelum sahabat tidak berturut-turut.
2)    Pendapat fuqaha, usuliyyun, dan segolongan muhadditsin:
Segala hadist yang tidak bersambung sanadnya dimana saja terputusnya.
Hadist munqathi’ adalah hadist yang sanadnya terputus artinya seorang perawi tidak bertemu langsung dengan pembawa berita baik dari awal, ditengah atau di akhir sanad, maka masuk didalamnya hadist mursal, muallaq, dan mu’dhal. Atau munqathi’ adalah selain mursal (yaitu dibuang seorang periwayat pada awal sanad), mu’dhal (dibuang dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut, dan mu’allaq (dibuang seorang perawi diakhir sanad).
a.     Cara Mengetahui Munqathi’ Dan Kehujahannya
Inqitha’ pada sanad dapat diketahui karena tidak adanya pertemuan antara perawi dan orang yang menyampaikan periwayatan karena tidak hidup semasa atau karena tidak pernah bertemu antara keduanya. Untuk menolong mengetahui hal tersebut adalah dengan tahun kelahiran dan wafat mereka.
Hadist munqathi’ tergolong mardud menurut kesepakatan para ulama, karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang digugurkan, bagaimana kejujuran dan ke-dhabithan-nya. Padahal dalam menilai keotentika suatu hadist sangat diperlukan informasi tentang sifat-sifat perawi tersebut.

3)    Hadist Mu’dhal
a.     Pengertian
Kata mu’dhal dari akar kata  ُأَعْضَلَ يُعْضِلَ إِعْضَالًا فَهُوَ مُعْضَلٌ أَيْ أَعْيَاه payah dan susah. Keterputusan hadist mu’dhal memang parah sampai dua orang perawi maka menyulitkan dan memberatkan penghubung.
Dalam istilah hadist mu’dhal adalah:
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ اِثْنَانش فَأَكْثَرَ عَلَى التَّوَالِي
Hadist yang gugur dari sanadnya dua orang lebih secara berturut-turut.

4.     Hadist mu’allaq
a.     Pengertian
Kata mu’allaq dari akar kata عَلَّقَ يُعَلِّقُ تَعْلِيْقًا فَهُوَ مٌعَلِّقٌ dengan makna bergantung. Hadist ini bergantung karena sanad-nya bersambung kearah atas dan terputus kearah bawah, maka seolah seperti suatu benda yang tergantung pada atap rumah atau sesamanya.
Menurut istilah hadist mu’allaq adalah :
مَا حُذِفَ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ رَاوٍ أَوْ أَكْثَرُ عَلَى التَواَليِ
Hadist yang dibuang pada awal sanad seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
Jadi hadist mu’allaq adalah hadist yang sanad-nya bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
b.     Hukum Hadist Mu’allaq
Hadist mu’allaq tergolong hadist yang tertolak karena sanad-nya tidak bersambung dan tidak diketahui sifat-sifat perawi yang dibuang. Tetapi hadist  mu’allaq ini bisa diterima manakala dikuatkan melalui jalan (sanad) lain yang menyebut perawi yang dibuang dan ia memiliki sifat kredibelitas yang tinggi atau sangat jujur. Dengan demikian hilanglah kesamaran atau ketidak tahuan tentang sifat-sifat perawi hadist.