BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Globalisasi dewasa ini menampilkan suatu corak hubungan antar
bangsa yang tidak seimbang. Hubungan antar negara-negara maju dan negara-negara
berkembang masih ditandai oleh polarisasi kuat-lemah. Hal ini pada gilirannya
akan menyebabkan terjadinya “akulturasi asimetris” yaitu bahwa pengaruh
negara-negara maju yang dominan dalam bidang ekonomi dan iptek atas dasar
negara-negara berkembang juga memasuki bidang-bidang non- ekonomi, seperti
politik dan budaya.
Akulturasi asimetris mendorong penetrasi budaya asing ke dalam
wilayah budaya nasional suatu bangsa dan mengakibatkan terjadinya transformasi
budaya yang timpang. Proses transformasi budaya ini acapkali menimbulkan
“keterkejutan budaya” dikalangan bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya
yang kuat. Sebagai akibatnya, bangsa tersebut mengalami keagamaan budaya dan
terjebak ke dalam persepsi kehebatan budaya bangsa lain.
Pada tingkat tertentu gejala keagamaan budaya menghadapi sebagaian
masyarakat indonesia, seperti tampak pada responsi terhadap pengaruh budaya
saing yang tidak kritis, rasional dan proporsional. Umpamanya lebih menekankan
pengambilalihan budaya dalam arti terbatas (seni dan mode kehidupan) dari pada
pengambilalihan iptek.
B.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui kebudayaan keagamaan menghadapi globalisasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEBUDAYAAN KEAGAMAAN MENGHADAPI GLOBALISASI
Sebagai proses mendunianya kehidupan umat manusia, globalisasi
mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas
geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia
dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dasyat, yang menciptakan
perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[1]
Sebagai akibat dari modernisasi dan industrialisasi adalah
munculnya masyarakat modern atau masyarakat industri. Masyarakat modern
mempunyai pandangan dunia yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan
manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia mempunyai pusat kehidupan.
Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya
sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan
pandangan kemanusiaan sekuler (humanisme sekuler) yang menekankan rasionalitas
(kekuasaan akal- pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi),
materialitas (kekuasaan harta-benda), dan relativitas (kekuasaan nilai
kenisbian).
Masyarakat modern sering juga disebut sebagai manusia
tekno-struktur sangat terikat dengan struktur-struktur kehidupan yang
teknologis. Manusia, dalam hal ini, menjadi otomaton-otomaton kehidupan, yang
percaya pada kemampuan diri namun sangat tergantung pada benda yang
diciptakannya sendiri.
Dalam pada itu, tidak ada tempat dalam masyarakat industrial modern
bagi sesuatu yang bersifat immateri atau rohani, karena apa yang disebut
immateri dan rohani merupakan hasil dari sesuatu yang bersifat materi dan
bendawi. Manusia dan masyarakat mengalami kegersangan dan bahkan kekosongan
nilai spiritualitas. Sebagai akibatnya, manusia bersaing satu sama lain untuk
merebut prestasi setinggi-tingginya dalam bidang materil, tanpa memperhatikan
nilai etika dan moralitas.
Kita menyaksikan dewasa ini dampak negatif dari globalisasi, yaitu
berkembangnya beberapa kencenderungan hidup, seperti kecenderungan
materialistik (pendewaan terhadap materi), kecenderungan individualistik
(pendewaan terhadap diri), dan kecenderungan hedonistik (pendewaan terhadap
hasrat badani).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah
menggejala dalam kehidupan sebagaian masyarakat indonesia, terutama di
kota-kota besar. Ketiga kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama.[2]
Pertama, karena
perkembangannya kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan adanya
penentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan
itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat dikalangan masyarakat luas, yang
apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.
B.
STRATEGI KEBUDAYAAN
Untuk menghadapi fenomena diatas dibutuhkan adanya strategi
kebudayaan, yakni kerangka praktis yang melibatkan unsur-unsur kebuyaan soaial,
ekonomi, politik, iptek, seni dan agama untuk mewujudkan cita-cita sosial
sesuatu masyarakat.
Jika cita-cita sosial tersebut diletakkan dalam konteks agama maka
masyarakat ideal yang ingin diwujudkan dengan strategi kebudayaan adalah
masyarakat agama atau masyarakat keagamaan. Karena tujuannya bersifat keagamaan
karena pendekatan strategi kebudayaan yang akan diterapakan harus pula bersifat
keagamaan, atau berdasarkan nilai-nilai agama.
Strategi kebudayaan perlu bertolak dari suatu teori nilai, meminjam
istilah Sutan Takdir Alisyahbana, yaitu teori yang menentukan motivasi, tujuan,
dan cara maupun logika manusia untuk mengembangkan dirinya dalam hidup
berbudaya.
Menurut takdir, terdapat enam nilai strategis (berdasarkan agama)
yang harus dikembangkan dalam pembangunan kebudayaan nasional indonesia. Keenam
nilai tersebut ialah:[3]
1)
Nilai
agama,
2)
Nilai
ekonomi,
3)
Nilai
ilmu,
4)
Nilai
keindahan,
5)
Nilai
solidaritas,
6)
Nilai
kuasa atau politik.
Nilai agama merupakan nilai dasar yang berfungsi mendorong manusia
atau masyarakat untuk memahami hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta.
Penghayatan tentang hal ini akan memberikan makna bagi masyarakat dalam
kehidupan kebudayaannya.
Nilai ekonomi merupakan nilai dasar kedua bi bawah nilai agama.
Nilai ekonomi adalah nilai dasar. Bahkan menurut Sutan Takdir, berdasarkan
dalam kebudayaan masyarakat, karena jika nilai ini tidak terpenuhi maka
masyarakat tidak bisa hidup untuk membangun kebudayaannya. Nilai ekonomi akan
membawa manusia untuk menciptakan kegunaan alam sekitar sesuai hukum dan norma
alam itu sendiri.
Nilai ilmu berfungsi untuk menyelidiki dan mengetahui hukum alam
yang tidak lain adalah hukum Tuhan itu sendiri. Pengetahuan akan hukum alam
yang mengakibatkan penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa
kemungkinan dan kemudahan bagi manusia untuk menjalankan kehidupan dan
membangun kebudayaannya.
Sebagai nilai keempat adalah nilai keindahan. Nilai ini, bisa juga
disebut nilai seni, berfungsi untuk mendatangkan bagi manusia kepuasan
perasaan. Dalam hal ini, penghadapan manusia terhadap alam bukan hanya untuk
memperoleh kemungkinan kegunaan (sebagai hasil dari ilmu pengetahuan) tapi juga
sebagai sumber kepuasan batin tentang keindahan.
Nilai solidaritas juga penting, terutama dalam hubungan manusia
dengan sesama manusia. Nilai ini untuk mempersatukan umat manusia (masyarakat)
dalam membina kehidupan bersama dalam masyarakat. Pada hakikatnya, manusia
berkepentingan untuk bersama dan bekerja sama dalam kehidupan.
Sebagai konsekuensi dari nilai solidaritas adalah nilai kuasa.
Nilai kuasa atau nilai politik berfungsi untuk mengatur kehidupan bersama tadi.
Jika nilai solidaritas lebih berdimensi horizontal yang membuat manusia saling
mengasihi, menyayangi, dan tolong-menolong, maka nilai kuasa berdimensi
vertikal yaitu mengatur kehidupan masyarakat yang mungkin melahirkan perebutan
kekuasaan antar kelompok-kelompoknya dalam suatu integrasi yang dinamis.
Interrelasi nilai-nilai di atas dapat menciptakan suatu konfigurasi
nilai-nilai yang bermacam-macam, gergantung kepada kualitas yang diberikan
kepada masing-masing nilai oleh sebuah masyarakat. Masih menurut Sutan Takdir,
kebudayaan barat yang menekankan nilai ekonomi dan nilai ilmu melahirkan teknologi
yang maju. Hal inilah yang membuat kebudayaan barat besifat progresif.
Kebudayaan ini berkembang atas dasar rasionalitas. Sebaliknya, kebudayaan timur
yang menekankan nilai agama dan nilai seni serta berkembang atas dasar
perasaan, intuisi, dan imajinasi melahirkan kebudayaan yang bersifat ekspresif.
Menghadapi tantangan globalisasi seperti di uraikan di muka, maka
diperlukan suatu strategi kebudayaan dengan konfigurasi nilai yang relevan
dengan tantangan tersebut.
C.
Modernisme Islam dan Masalah “Selective Borrowing”
Hampir semua kaum muslimin mengakui bahwa ajaran Islam yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dua sumber yang bersifat transenden,
mengatasi ruang dan waktu. Namun sebuah telaah terhadap Islam tentu tidak bisa
hanya memahami kedua sumber yang transenden itu, sebab sebuah ajaran senantiasa
mengalami proses aktualisasi kedalam realitas sosial para penganutnya.
Aktualisasi doktrin kedalam
realitas sosial penganutnya itulah yang disebut dengan corak keberagaman kaum
muslimin. Corak keberagaman senantiasa dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama,
faktor internal yanh meliputi kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran
terhadap doktrin agama bersangkutan. Kedua, faktor-faktor politik. Sepanjang
sejarah Islam telah muncul corak beragaman yang tak terbilang banyaknya, bahkan
nyaris sejumlah kelompok yang menganut agama itu.
Memasuki abad 20 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh ekspansi
peradaban Barat ke dunia Islam yang membuat kaum muslimin tertegun seakan tak
berdaya setelah menyadari betapa mundurnya umat Islam itu bila dihadapkan
dengan kemajuan Barat. Setiap modernis dalam melontarkan gagasan-gagasannya
tampaknya senantiasa berangkat dari keprihatinannya terhadap keterbelakangan
umat Islam dibanding dengan masyarakat Modern Barat, dan seterusnya mencari
jalan pemecahan untuk membawa umat Islam itu kepada kemajuan.
Mereka melihat umat Islam itu demikian terbelakang disebabkan
tangan dan kakinya terlihat kuat oleh sikap taklid pada pemahaman para
pendahulu terhadap agama. Masyarakat Islam pada umumnya seolah-olah menerima
begitu saja klaim para pendahulunya terhadap agama dan nyaris tidak pernah
mempertanyakan keabsahan klaim tersebut. Maka untuk memajukan umat Islam itu,
pada umumnya para pembaru melakukan usaha dalam beberapa tahapan.[4] Tahap
pertama, mereka menggagaskan dilakukannya ijtihad dalam menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam di abad modern. Tahap kedua,
mereka menggagaskan peminjaman peradaban Barat yang dipandang mendapat
legalisasi dari ajaran agama yang
bersifat dasar. Kedua, visi yang tradisional, yang berkeyakinan bahwa
untuk meraih kemajuannya, umat Islam tidak berkeyakinan bahwa untuk merih
kemajuannya, umat Islam tidak perlu meminjam peradaban Barat, akan tetapi mereka harus membangun
sendiri peradabannya berdasarkan ortodoksi Islam sendiri. Ketiga, visi
sintetik, yang berkeyakinan bahwa didalam Al-Qur’an tidak terdapat petunjuk
yang rinci mengenai bagaimana cara membangun sebuah peradaban Islam. Untuk itu
umat Islam diperkenankan meminjam peradaban bangsa lain dalam mencapai
kemajuannya, yakni peradaban yang dapat menumbuh kembangkan prinsip-prinsip
universal yang diajarkan kitab suci.[5]
Pembaratan yang tak terelakkan
Memang bagi bangsa-bangsa bukan Barat, jika ingin memodernisir
dirinya, terpaksa pada permulaan prosesnya harus meminjam paradigma modern
Barat, atau berdasarkan paradigma yang ada membuat paradigma baru. Namun
hasilnya tidak dapat dipandang sama sekali orisinal, melainkan sekedar pinjaman
(borrowing) dari yang ada di Barat. Meskipun bagi bangsa yang sangat kreatif
seperti Jepang. Di sinilah bangsa bukan Barat menghadapi, paling tidak dua
masalah.[6]
Pertama, berhimpitnya
modernisasi dengan westernisasi, sebab meskipun watak dan dinamikanya peradaban
modern adalah peradaban dunia, namun pada kenyataannya ia banyak membawa serta
sisa limpahan budaya Barat, sisa limpahan ini memang sering kali ditemukan
bertentangan dengan budaya maupun kepercayaan umat Islam, sehingga senantiasa
merupakan faktor negatif yang disoroti kritisi Muslim. Namun mereka seyogyanya
tidak hanya menonjolkan faktor negatifnya, melainkan harus memandang peradaban
itu secara objektif, sehingga umat Islam betul-betul siap tanpa merasa berdosa
atau “malu-malu” untuk mengambilnya.
Kedua, bangsa-bangsa
bukan Barat seringkali dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah untuk
menetapkan mana dari kedua aspek (material dan humanisme) yang harus didahulukan,
sebab sangat erat kaitannya dengan persiapan bangsa yang bersangkutan. Untuk
itu dapat dikemukakan beberapa contoh:
India misalnya, karena besarnya kalangan atasa yang berpendidikan
Barat dibawah pemerintahan kolonial Inggris, secara amat menarik menunjukkan
keberhasilannya tampil sampai batas tertentu menerapkan aspek kemanusiaan dari
peradaban Barat Modern, yaitu dari sistem pemerintahan yang demokratis,
meskipun menghadapi kenyataan masyarakatnya yang mengenal sistem kasta yang
kaku. India berhasil mewujudkan dirinya sebagai demokrasi terbesar dunia namun
perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa kemelaratan rakyatnya senantiasa
menjadi sumber ancaman kelangsungan demokrasi itu.
Thaha Husein mengetengahkan, paling tidak ada empat alasan mengapa
umat Islam dengan mudah dapat meminjam peradaban Barat.
Pertama, disadari atau tidak, hari demi hari umat Islam tengah
bergerak mendekati Barat, baik dari segi pikiran maupun penampilannya, mengacu
pada alasannya yang pertama ini, kita
memang dapat melihat sekarang ini umat Islam banyak mengukur kemajuannya dibidang materi,
dari semua individu dan masyarakat dengan sejauh mana ia telah bergaya Barat.
H.A.R Gibb pernah
menjelaskan tiga hukum bagi sebuah peminjaman budaya asing oleh suatu bangsa:
Pertama, suatu
kebudayaan yang hidup mengabaikan atau menolak sesuatu unsur dari kebudayaan,
pengaruh-pengaruh kebudayaan (bukan unsur-unsur tambahan yang dangkal,
melainkan unsur-unsur yang benar diasimilasikan), selalu didahului oleh
kegiatan yang sudah ada dalambidang-bidang yang berkaitan. Dan kegiatan yang
sudah ada itulah yang menciptakan faktor daya tarik, dan tanpa itu tidak akan
terjadi penyerapan yang kreatif.
Kedua, unsur-unsur
yang dipinjam hanya mendorong vitalitas yang berkembang dari kebudayaan peminjam,
sejauh unsur-unsur itu dihidupi oleh kegiatan-kegiatan yang pertama-tama telah
menyebabkan peminjaman itu. Jika unsur-unsur itu berkembang demikian subur
sehingga menggantikan atau mengancam kekuatan kekuatan rohaniah asli,
unsur-unsur itu lalu menjadi destruktif. Suatu kebudayaan yang hidup
mengizinkan unsur-unsur peminjam itu untuk berkembang sejauh unsur-unsur itu
dapat disesuikan dan dipadukan dengan ketentuan-ketentuan sendiri, akan tetapi
menentang dengan sekuat tenaga pertumbuhannya yang terlalu subur.
Ketiga, kebudayaan
lain yang bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya, sikap emosional atau
kriteria-kriterianya sendiri. Mungkin saja diusahakan untuk mencangkokan
unsur-unsur itu, akan tetapi cangkokan itu tidak akan jadi dan akan mati begitu
saja.
Keempat, Thaha Husein berpendapat bahwa kehidupan
Eropa bukanlah kehidupan yang penuh dosa dan maksiat semata, tetapi juga
mengandung kebaikan dan manfaat, suatu realitas yang tak dapat dipungkiri kini
umat Islam mengalami kemunduran. Ini menunjukkan bahwa disana dalam kehidupan
umat Islam itu, telah terjadi banyak keburukan, memang pada dasarnya dalam
kehidupan, baik individu maupun masyarakat tidak bisa terlepas dari baik dan
buruk, dimana dan kapan saja.
Kelima, Thaha Husein
mengedepankan tinjauan sejarah. Menurutnya, umat Islam khususnya pada masa
Daulah Umayyah maupun Daulah Abasiyah, tidak merasa risih untuk mengambil semua
perangkat yang membawa kepada kemajuan dari kebudayaan Parsi dan Yunani dan
bahkan Cina. Mereka tidak pernah menolak setiap perangkat itu meskipun mereka
menyadari bahwa disana tersimpan pula keburukan-keburukan yang merusak moral
dan aqidah. [7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kita menyaksikan dewasa ini dampak negatif dari globalisasi, yaitu
berkembangnya beberapa kencenderungan hidup, seperti kecenderungan
materialistik (pendewaan terhadap materi), kecenderungan individualistik
(pendewaan terhadap diri), dan kecenderungan hedonistik (pendewaan terhadap
hasrat badani).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala
dalam kehidupan sebagaian masyarakat indonesia, terutama di kota-kota besar.
Ketiga kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama.
Pertama, karena
perkembangannya kecenderungan-kecenderungan tersebut menunjukkan adanya
penentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan
itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat dikalangan masyarakat luas, yang
apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
M. Din syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani,
(jakarta: logos, 2000)
Syahrin
Harahap, Islam dinamis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997)