HADIST DHA’IF DAN SEBAB-SEBAB KEDHA’IFANNYA
A.
Pengertian
Hadist dha’if adalah hadist mardud. Dari segi bahasa dha’if
berarti lemah lawan dari al-qawi = kuat. Kelemahan dha’if
ini karena sanad dan matan-nya tidak memenuhi kreteria hadist
kuat yang diterima sebagai hujah.
Dalam istilah hadist dha’if adalah :
هُوَ مَا لَْم َيجْمَعْ صِفَةَ اْلحَسَنِ
بِنَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadist yang tidak
menghimpun sifat hadist hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
terpenuh.
Atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَ اْلحَسَنِ
Hadist yang tidak menghimpun sifat hadist shahih dan hasan.
Jadi hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi
sebagian atau semua persyaratan hadist hasan atau shahih, misalnya sanad-nya
tidak bersambung ( muttashil ), para perawinya tidak adil dan tidak dhabith,
terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadzdz) dan terjadinya
cacat yang tersembunyi (‘illah) pada sanad dan matan.
a.
Contoh
Hadist Dha’if
Hadist yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim
Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi S.A.W.
bersabda :
مَنْ َأتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً مِنْ دُبٍُر أًوْ كََاهِناً فَقَدْ
كَفَرَ بِمَا اَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid)
atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun,
maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Dalam sanad diatas terdapat seorang dha’if yaitu Hakim Al-Atstram
yang dinilai dha’if oleh para ulama.
b.
Hukum
Periwayatan Hadist Dha’if
Hadist dha’if tidak identik dengan hadist mawdhu’ (hadist
palsu). Diantara hadist dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak
terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapai adil dan jujur.
Sedang hadist mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadist dha’if sekalaipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan
dua syarat, yaitu:
a) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
b)
Tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadist-hadist tentang ancaman
dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain
Dalam meriwayatkan hadist dha’if, jika tanpa sanad sebaiknya
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah,
tetapai cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh).
c.
Pengamalan
Hadist Dha’if
Para ulama berbeda pendapat dalam pengalaman hadist dha’if.
Perbedaan itu dapat dibagi tiga pendapat:
a.
Hadist
dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam
hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya Bin
Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi,
Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
b.
Hadist
dha’if dapat diamalkan secara mutlak dalam keutamaan amal atau dalam masalah
hukum, pendapat abu dawud dan imam ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadist
dha’if lebih kuat dari pada pendapat para ulama.
c.
Hadist
dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib
(janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan)
jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, yaitu:
1)
Tidak
terlalu dha’if, seperti diantara perawinya pendusta (hadist mawdu’) atau
dituduh dusta (hadist matruk) orang yang daya ingat hafalannya sangat
kurang, dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadist
munkar).
2)
Masuk
dalam kategori hadist yang diamalkan, seperti hadist muhkam (hadist
maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadist lain), nasikh
(hadist yang membatalkan hukum pada hadist sebelumnya), dan rajih
(hadist yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
3)
Tidak
diyakinkan secara yakin kebenaran hadist dai Nabi, tetapi karena berhati-hati
semata atau ikhtiyath.
d.
Tingkatan
Dha’if
Sebagai salah satu syarat hadist dha’if yang dapat diamalkan adalah
tidak terlalu dha’if atau tidak terlalu buruk kedha’ifannya. Hadist yang
terlalu buruk kedha’ifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail
al-amal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadist dha’if yang terburuk adalah mawdu’,
matruk, munkar, mu’alal, mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.
e.
Kitab-Kitab
Hadist Dha’if
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadist
dha’if adalah:
a.
Al-Marasil, karya Abu Dawud.
b.
Al-I’lal, karya Ad-Daruquthni.
c.
Kitab-kitab
yang banyak mengemukakan para perawi yang dha’if adalah seperti Adh-Dhu’afa
karya Ibnu Hibban, Mizan Ali’tidal karya Adz-Dzahabi.
B.
Dha’if Sebab Pengguguran Sanad
1.
Hadist Mursal
a.
Pengertian
Dari segi bahasa mursal dari kata أَرْسََل يُرْسِلُ إِرْسَالاً مُرْسَلٌ dengan makna
مُطْلَقٌ = terlepas atau bebas tanpa ada ikatan. Hadist dinamakan
mursal karena sanad-nya ada yang terlepas atau gugur yakni
dikalangan sahabat atau tabi’in. Dalam istilah ada beberapa pendapat tentang
penertian hadist mursal ini, yaitu:
1)
Pendapat
mayoritas muhadditsin diantaranya Al-Hakim, Ibnu Ash-Shalah, Ibnu Hajar,
dan lain-lain.
هُوَ رِوَايَةَ التَّابِعِى مُطْلَقًا عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهً
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Adalah periwayatan tabi’in secara mutlak (baik senior atau yunior) dari Nabi SAW.
2)
Pendapat
Fuqaha’, Ushulliyyun, dan segolongan dari muhadditsin diantaranya
Al-Khathib Al-Baghdadi, Abu Al-Hasan Bin Al-Qathan, dan An-Nawawi, ialah:
هُوَ مَا انْقَطَعَ إِسْنَادُهُ فِيْ أَيِّ مَوْضُعٍ مِنَ السَّنَدِ
Adalah hadist yang terputus isnadnya di mana saja dari sanad.
3)
Pendapat
Al-Baiquni:
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ سَنَدِهِ الصَّحَابِي
Hadist yang gugur dari sanadnya seorang sahabat.
4)
Sebagian
ahli ilmu berpendapat:
هُوَ رِوَايَةُ التَّابِعِيْ الكَبِيْرِ عَنِ الَّنبِيِّ صَلَّى
اللُهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Yaitu periwayatan tabi’in senior dari Nabi SAW
5)
Menurut
sebagian ulama muhadditsin:
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ آخِرِ إِسْنَادِهِ مِنْ بَعْدَ التَّابِعِي
Hadist yang gugur dari akhir sanadnya orang setelah tabi’in (sahabat).
Dari beberapa definisi diatas dapat dikompromikan bahwa hadist
mursal adalah hadist yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi baik dari
perkataan , perbuatan atau persetujuan, baik tabi’in senior atau yunior tanpa menyebutkan penghubung antara seorang
tabi’in dan Nabi yaitu seorang sahabat. Sebagian pendapat menegaskan,
periwayatan tabi’in senior saja bukan tabi’in yunior, karena mayoritas
periwayatan tabi’in senior dari sahabat, sedang periwayatan tabi’in yunior dari
Nabi dimasukkan munqathi. Berbeda dengan pendapat fuqaha dan ushuliyyun
yang memandang mursal lebih umum dimana saja penggugurannya.
a.
Contoh
Hadist Mursal
Misalnya: Ibnu Sa’ad berkata dalam Thabaqat-nya:
أَيُّهَا النَّاسَ إِنَّماَ آنَا رَحْمَةٌ
مُهْدَاةٌ
Wahai manusia sesungguhnya aku sebagai rahmat yang dihadiahkan.
Abu Shalih As-Saman Az-Zayyat seorang tabi’in, dia menyandarkan
berita hadist tersebut dari Nabi tanpa ada yang menjelaskan perantara sahabat
yang menghubungkannya kepada Rasullulah.
b.
Macam-Macam
Hadist Mursal
Ada tiga macam hadist mursal yaitu:
1)
Mursal
Tabi’i
Mursal tabi’i sebagaimana ketenrangan diatas.
2)
Mursal
Shahabi
Mursal shahabi yaitu periwayatan antara sahabat yunior dari Nabi,
padahal mereka tidak melihat dan tidak mendengar langsung dari beliau.
3)
Mursal
Khafi
Mursal khafi adalah gugurnya perawi dimana saja tempat dari sanad diantara dua orang perawi yang semasa tetapi
tidak bertemu.
Contoh: hadist yang diriwayatkan oleh Al-Awam Bin Hausyab dari Abdullah
Bin Abu Aufa berkata:
كَانَ النَّبِيُ إِذَا قَالَ بِلاَلٌ: قَدْ قَامَتِ
الصَّلَاةُ نَهْضُ وَ كَبَّرَ
Adalah Nabi ketika bilal membaca: telah berdiri shalat iqamat, maka
beliau bergerak dan takbir.
Untuk mengetahui mursal khafi melalui keterangan sebagian
imam bahwa seorang perawi ini tidak pernah bertemu dengan pembawa berita itu
atau tidak pernah mendengar secara mutlak atau pengakuan perawi sendiri bahwa
ia tidak pernah bertemu atau mendengar dari pembawa berita. Atau dengan jalan
sanad lain yang menambah antara dua orang yakni antar perawi dan pemberitannya.
a.
Kehujahan
Hadist Mursal
Hadist mursal semestinya masuk dalam hadist dha’if yang mardud,
karena ia tidak memenuhi persyaratan hadist maqbul yaitu ittihsal
as-sanad (persambungan sanad), dan tidak diketahui sifat-sifat
perawinya. Secara umum terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang
kehujahan mursal Tabi’in, yaitu ada tiga pendapat:
1)
Hukumnya
shahih dan dapat dijadikan hujah, jika yang me-mursalkannya dapat
dipercaya keadilannya dan ke-dhabith-annya.
2)
Dha’if
tidak dapat dijadikan hujah, dengan alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan
tidak diketahui secara jelas, maka mungkin saja selain sahabat, pendapat
mayoritas muhaddaitsin dan banyak dikalangan fuqaha dan ushuliyyin.
3)
Dapat
diterima dan dijadikan hujah, dengan beberapa syarat menurut Imam As-Syafi’i
dan sebagian ahli ilmu.
Sedangkan kehujahan mursal shahabi ada dua pendapat dikalangan
ulama, yaitu:
1)
Pendapat
jumhur muhadditsin
Mursal shahabi shahih dapat dijadikan hujah, karena para sahabat
semua bersifat adil dan periwayatan sahabat sangat langka dari tabi’in.
2)
Pendapat
segolongan ushuliyin
Diantara mereka Abu Ishak Al-Asfarayini: tidak dapat dijadikan
hujah, kecuali dapat dikatakan bahwa hadist tersebut hanya diriwayatkan dari
sahabat.
Kehujahan mursal khafi, tergolong mardud dan dha’if
karena tidak adanya persambungan sanad atau diantara periwayat tidak bertemu
langsung dengan si pembawa berita.
a.
Buku
hadist mursal
1)
Al-marasil,
karya abu dawud.
2)
Al-marasil,
karya ibnu abu hatim.
3)
Jami’
at-tahs’hil ahkam al-marasil, karya al-ala’i
4)
At-tafshil
li mubham al-marasil, karya al-khathib.
2.
Hadist Munqathi’
a.
Pengertian
Kata munqathi berasal dari kata اِنْقَطَعَ
يَْنقَطَعَ اِْنقِطَاعًا فَهٌوَ مٌنْقَطِعٌ berarti terputus
lawan dari kata muttasil= bersambung. Nama inqitha’ atau terputus
karena ada sanad yang tidak tersambung.
Dalam istilah hadist munqathi’ ada 2 pendapat, yaitu:
1)
pendapat
mayoritas muhadditsin:
hadist yang digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih
sebelum sahabat tidak berturut-turut.
2)
Pendapat
fuqaha, usuliyyun, dan segolongan muhadditsin:
Segala hadist yang tidak bersambung sanadnya dimana saja
terputusnya.
Hadist munqathi’ adalah hadist yang sanadnya terputus
artinya seorang perawi tidak bertemu langsung dengan pembawa berita baik dari
awal, ditengah atau di akhir sanad, maka masuk didalamnya hadist mursal,
muallaq, dan mu’dhal. Atau munqathi’ adalah selain mursal (yaitu dibuang
seorang periwayat pada awal sanad), mu’dhal (dibuang dua orang perawi atau
lebih secara berturut-turut, dan mu’allaq (dibuang seorang perawi diakhir
sanad).
a.
Cara
Mengetahui Munqathi’ Dan Kehujahannya
Inqitha’ pada sanad dapat diketahui karena tidak adanya
pertemuan antara perawi dan orang yang menyampaikan periwayatan karena tidak
hidup semasa atau karena tidak pernah bertemu antara keduanya. Untuk menolong
mengetahui hal tersebut adalah dengan tahun kelahiran dan wafat mereka.
Hadist munqathi’ tergolong mardud menurut kesepakatan para
ulama, karena tidak diketahui sifat-sifat perawi yang digugurkan, bagaimana
kejujuran dan ke-dhabithan-nya. Padahal dalam menilai keotentika suatu
hadist sangat diperlukan informasi tentang sifat-sifat perawi tersebut.
3)
Hadist Mu’dhal
a.
Pengertian
Kata mu’dhal dari akar kata
ُأَعْضَلَ يُعْضِلَ إِعْضَالًا فَهُوَ مُعْضَلٌ
أَيْ أَعْيَاه
payah dan susah. Keterputusan hadist mu’dhal memang parah
sampai dua orang perawi maka menyulitkan dan memberatkan penghubung.
Dalam istilah hadist mu’dhal adalah:
هُوَ مَا سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ اِثْنَانش فَأَكْثَرَ عَلَى التَّوَالِي
Hadist yang gugur dari sanadnya dua orang lebih secara
berturut-turut.
4.
Hadist mu’allaq
a. Pengertian
Kata mu’allaq dari akar kata عَلَّقَ يُعَلِّقُ تَعْلِيْقًا فَهُوَ مٌعَلِّقٌ dengan makna bergantung. Hadist ini
bergantung karena sanad-nya bersambung kearah atas dan terputus kearah
bawah, maka seolah seperti suatu benda yang tergantung pada atap rumah atau
sesamanya.
Menurut istilah hadist mu’allaq adalah :
مَا حُذِفَ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ رَاوٍ أَوْ أَكْثَرُ عَلَى التَواَليِ
Hadist yang dibuang pada awal sanad seorang perawi atau lebih
secara berturut-turut.
Jadi hadist mu’allaq adalah hadist yang sanad-nya
bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau lebih
secara berturut-turut.
b.
Hukum
Hadist Mu’allaq
Hadist mu’allaq tergolong hadist yang tertolak karena
sanad-nya tidak bersambung dan tidak diketahui sifat-sifat perawi yang dibuang.
Tetapi hadist mu’allaq ini bisa
diterima manakala dikuatkan melalui jalan (sanad) lain yang menyebut
perawi yang dibuang dan ia memiliki sifat kredibelitas yang tinggi atau sangat
jujur. Dengan demikian hilanglah kesamaran atau ketidak tahuan tentang
sifat-sifat perawi hadist.